Luluhnya Keangkuhan Ibu




Galau. Itulah yang saat ini tengah kurasakan. Pilihanku untuk resign dari kantor ternyata menimbulkan dampak yang tidak mengenakkan bagiku.  Suamiku dibenci ibu kandungku sendiri gara-gara dianggap menghambat karier anaknya. Sejujurnya pilihanku memang atas permintaan dia, tentunya atas pertimbangan banyak hal terutama karena kehadiran buah cinta kami.
Setelah menikah, suami memang tidak melarangku meniti karier. Bahkan dia juga sangat mengikhlaskan semua gajiku untuk menyenangkan keluargaku. Namun semenjak aku hamil, dia mulai over protektif terhadapku. Aku tahu, semua itu karena kerinduannya yang sangat dalam akan hadirnya buah cinta kami yang memang baru hadir setelah lima tahun menikah. Aku sangat memahaminya, dan akupun bersedia meninggalkan semuanya demi niat tulus menjaga dan merawat buah cinta kami.
Suatu ketika, aku mencoba mengutarakan niatku untuk resign dari kantor. Bukannya mendukung, ibu justru terlihat kecewa dan marah dengan keputusanku.
“Kamu kan sudah tahu, kalau tanggungjawabmu sangat besar. Ada orang tuamu dan adik-adikmu yang butuh biaya, kalau kamu nganggur begini bagaimana?”ujar ibu dengan nada tinggi.
Berbagai alasan coba kukemukakan padanya bahwa suamiku sudah siap menanggung biaya hidup ibu dan adik-adikku. Namun hal itu tidak menghentikan ibu untuk terus mengumbar kata-kata kasarnya, bahkan ibu tega menyebut aku sebagai anak yang tak tahu balas budi. Aku hanya bisa menangis sedih, bagaimana mungkin ibuku sendiri justru memintaku membangkang perintah suamiku.
Merasa tidak ada titik temu yang tepat atas pilihanku, aku memutuskan berkonsultasi pada seorang ustadzah yang selama ini menjadi teman sekaligus guru spiritualku. Darinya kudapatkan sedikit pencerahan yang membuatku semakin mantap dengan keputusanku. Namun lagi-lagi ibu membuat ulah yang sempat membuatku merasa berdosa.
“Ibu akan pergi dari sini, percuma saja aku hidup numpang sama suamimu,”kata ibu dengan nada sinis.
“Jangan begitu, Bu. Sudah menjadi tanggung jawab kami untuk mengurus kebutuhan ibu,”rayuku mencoba menghentikan tindakan nekatnya.
“Halah, percuma saja. Kamu saja sudah jadi peminta-minta sama suamimu, jadi mana mungkin kamu bisa membahagiakan ibu dan adik-adikmu?”lagi-lagi ibu melontarkan kata-katanya yang tajam.
Aku terus berusaha mencari cara agar ibu tidak pergi dari rumahku, namun ternyata keputusan ibu sudah bulat. Sore itu juga, ibu mengemas barang-barangnya dan bersiap pulang ke Jakarta.
Dalam kekalutanku, kucoba menghubungi suamiku. Namun dia juga tak mampu mencegah kepergian ibuku. Justru kehadiran suamiku membuat ibu semakin liar mengumbar kata-kata kasarnya.
“Dasar suami tak tahu diri, pasti kamu iri melihat karier istrimu khan? Makanya kamu minta dia resign,”ucap ibu dengan tatapan tajam.
“Bukan begitu, Bu. Kami hanya ingin yang terbaik untuk buah hati kami,”jawab suamiku membela diri.
Jawaban suami justru membuat ibu tersinggung. Ibu merasa tidak dianggap, padahal awalnya kehadiran ibu memang khusus untuk membantu menjaga buah hati kami. “Jadi kalian anggap ibumu ini apa? Orang bodoh yang tidak bisa merawat seorang bayi?”ucapnya dengan nada tinggi.
Tak tega mendengar suamiku diomeli sama ibu, akupun berusaha menjelaskan pada ibu bahwa tidak ada maksud untuk tidak mempercayainya. Tapi kami tidak mau menjadikan ibu sebagai baby sister untuk anak kami.
“Ibu adalah orang tuaku, jadi tidak mungkin kami samakan ibu dengan baby sister,”ujarku pelan dengan tujuan ibu mau memahami maksud baik kami.
“Ya sudahlah, terserah kalian. Yang jelas ibu merasa tidak dibutuhkan disini, mending ibu pulang saja,”katanya kekeuh.
Aku dan suami tak mampu lagi mencegah kepergian ibu yang pergi dengan amarahnya. Meskipun telpon dan SMSku tak ada yang dibalas, namun aku tak mau menyerah. Aku berusaha mengupdate kabar ibu dari adik-adikku melalui media sosial. Bahkan setiap bulan, aku tetap mentransfer sejumlah uang untuk membantu menunjang biaya hidup ibu dan adik-adikku.
Kehamilanku sudah memasuki usia 40 minggu, artinya tinggal menunggu hari persalinan. Kucoba menelpon ibu, namun ibu tak juga mau mengangkatnya. Begitulah sifat ibu, dia tidak mudah diluluhkan.
Bu, sekali lagi kuucapkan maaf atas segala khilaf. Oiya Bu, dalam beberapa hari ini aku akan menghadapi persalinan. Alangkah bahagianya jika ibu mau mendampingiku, namun jika tidak, kuharapkan setangkup doa tulusmu untuk kelancaran persalinan putrimu. I Love U.
Tak ada balasan dari ibu, namun beberapa jam kemudian aku mendapat WA dari adik kalau dia baru saja melihat ibu menangis dalam solatnya. Mendadak perasaanku ikut melow, butiran cristal berjatuhan di pipiku.
Tak ingin melihatku sedih, suami berusaha menenangkanku,”sabar ya sayang. Kalau kamu ingin bertemu ibu, aku siap mengantarmu sekarang.”
Aku tahu, suamiku paling tidak suka melihatku bersedih. Namun kondisi kehamilan tua memaksaku untuk menahan diri tidak melakukan perjalanan jauh hingga selesai persalinan.
“Ayah, aku mau menemui ibu setelah melahirkan saja. Siapa tahu dengan melihat cucunya, hati ibu bisa melunak,”ucapku dengan sumringah.
“Iya, nanti sekalian kita menikmati lebaran lebih lama bersama ibu,”ucapnya dengan penuh kesungguhan.
Suamiku hampir tidak pernah memutuskan akses silaturrahmi dengan keluarga besarku, bahkan setiap Hari Raya Idhul Fitri dia pasti menyempatkan diri untuk sungkem pada ibu, orang tuaku satu-satunya.
                                                                         ***
Kasih ibu sepanjang masa. Pepatah itu memang benar adanya, terbukti semarah-marahnya ibu pada kami, dia tetap tidak tega membiarkan aku cemas tanpanya. Tepat sehari sebelum aku menjalani persalinan, ibu dengan senyum khasnya berdiri dihadapanku. Segera kuhamburkan diri dalam pelukannya dan diapun antusias merengkuh tubuhku dengan kuat. Kami berdua saling menangis dan meminta maaf.
Malam harinya, aku merasakan kontraksi yang luar biasa sakitnya. Dengan sabar ibu mengusap lembut punggungku dan memijat kakiku. Ya Allah, beginikah rasanya seorang ibu melahirkan?”gumanku dalam hati sembari sekali-kali meringis kesakitan.
“Sabar ya, ini masih belum seberapa. Rasa sakit ini akan terus menguat mendekati proses persalinan. Baca doa yang sudah ibu ajarkan ya!”ucap ibu terlihat cemas melihatku kesakitan.
Atas arahan ibu, suamiku segera mengemas segala keperluan melahirkan ke dalam mobil. Kemudian dengan sabar, mereka berdua membimbingku kedalam mobil. Dalam sekejap saja, mobil kami sudah meluncur menuju ke Rumah Sakit.
Jeritanku semakin menguat manakala kontraksi semakin terasa meremukkan tulang-tulangku. Keringat dingin tak hentinya mengucur di kening dan sekujur tubuhku. Dengan perasaan cemas, ibu dan suamiku terus menguatkanku. Tak lama kemudian, dokter menginstruksikan untuk mengedan, dan… terdengar lengking tangis yang memenuhi seisi ruangan.
Suasana haru dan ucapan syukur terucap dari bibir tenaga medis dan orang-orang disekelilingku. Rasa sakit yang sedari tadi menyiksaku sekejap langsung menghilang berganti kebahagiaan yang tak terkira.
Tak lama kemudian, kulihat ibu menggendong bayi yang diserahkan dokter untuk diadzani suamiku. Lelehan cristal bening terus berjatuhan dipipinya menunjukkan sirnanya keangkuhan ibu. Dia cium kening putriku dengan lembut sebelum akhirnya dia serahkan pada suamiku untuk dibacakan adzan dan iqamah.
“Anakku cantik banget, ya Bu!”ujarku dengan senyum bangga.
“Iya dong, siapa dulu neneknya?”jawab ibu sembari menatapku genit.
Spontan aku langsung tertawa mendengar tingkah ibuku yang mendadak lucu dan sok imut. Ibu benar, putriku mirip sekali dengannya karena aku juga memiliki wajah yang hampir serupa dengannya.
“Sekarang ibu mendukungmu 100% untuk merawat dan mendampingi cucuku. Ibu tidak rela kalau cucu ibu dirawat sama baby sister,”kata ibu sembari memeluk erat putriku yang berada dalam pangkuannya.
“Alhamdulillah, terima kasih Bu. Kalau boleh tahu, apa alasan ibu sehingga berbalik mendukungku? Bukannya ibu ingin aku berkarier?”tanyaku penasaran.
“Itu kan dulu, sebelum ibu tahu kalau cucu ibu ternyata sangat cantik dan menggemaskan,”jawab ibu gemas.
Aku dan suami tak hentinya mengucap syukur atas perubahan sikap ibu yang semakin bijak. Kelahiran putriku menjadi tonggak bersejarah bagi mahligai rumah tanggaku. Kini tak ada lagi kecemasan, kekakuan, maupun ketakutan akan karma yang akan menimpa kami, yang ada hanya senyum kebahagiaan kala menatap masa depan yang gemilang. Hadirnya buah hati kami menjadi awal dari luluhnya keangkuhan ibu.
Buku sahabatku, Candra N.M. Dewajati
Loading...
Previous
Next Post »