Ketika Suamiku Menikah Sirri

Aku tak pernah menyangka bakal menerima takdir sepahit ini. Awalnya aku menyangka bahwa pernikahan yang kubangun akan aman dari masalah mengingat semuanya sudah kusiapkan sesempurna mungkin. Setahun hingga tiga tahun usia pernikahan, semua berjalan sesuai dengan impiannya. Tapi menginjak usia keempat tahun pernikahan, semua mendadak berubah tanpa bisa dikendalikan.
Zaky tak lagi seromantis biasanya, begitupun dengan keluarga besarnya yang terlihat tak acuh padaku. Awalnya, aku berusaha mengabaikan perubahan tersebut. Toh setiap hari aku selalu sibuk dengan dunia yang semakin melambungkan karierku. Rutinitas yang padat membuatku tak menghiraukan lagi tuntutan suami dan keluarga besarnya untuk segera memberikan momongan.

Sore itu, Zaky sengaja menjemputku dari kantor untuk makan malam bersama keluarga besarnya. Awalnya aku kurang bersemangat, namun Zaky berhasil meyakinkan bahwa tak akan terjadi sesuatu yang menyakitkanku.
Setelah setengah jam melaju di jalanan kota yang cukup macet, kamipun sampai di Restoran favorit keluarganya.
“Duh, kalian ini selalu datangnya terlambat, kami sudah menunggu dari tadi loh,” seloroh kak Rania yang diiyakan oleh semua keluarga.
“Iya, abisnya jalanan macet banget, maaf kalau sudah menunggu lama,”Zaky beralasan.
“Tanpa kamu jawabpun, kami sudah tahu alasannya,”sahut Ibu dengan nada sengit.
Aku hanya bisa tersenyum sambil menahan rasa sesak yang berkecamuk dalam dada. Aku tahu kalau mereka pasti menuduhku atas keterlambatan ini, namun lagi-lagi aku berusaha cuek. Demi menghibur kegundahanku, Zaky menggendong Difa, bayi mungil kakaknya yang lucu untuk menggodaku.
 “Makanya kamu itu cepetan punya momongan, biar suamimu nggak kesepian,”sahut ibu mertua dengan senyum dan kedipan mata yang tak biasa kepada anggota keluarga yang lain.
Aku hanya tersenyum seraya melirik suamiku, berharap dia akan membelaku. Namun aku sangat kecewa karena Zaky justru asyik menggoda keponakannya. 
Makan malam kali ini benar-benar menyesakkan bagiku, rasanya ingin segera menjauh dari tempat yang membuatku merasa tidak dihargai. Sekuat tenaga aku berusaha menahan emosi ketika keluarga Zaky membullyku dengan manis. Yach, manis sekali didengar, hingga aku sudah tidak sabar ingin segera meluapkan kekesalanku pada suamiku.
“Puas kamu melihat istrimu jadi bahan cemoohan dan ejekan keluargamu,”kataku kesal.
“Udahlah nggak usah dihiraukan,”jawab Zaky.
“Huh! Enak aja kamu ngomong begitu, kalau kamu tidak mengajakku kesini, pasti nggak seperti ini kejadiannya,”sahutku berapi-api.
“Sudahlah, kamu ini suka sekali membesar-besarkan masalah,”ucap Zaky cuek.
Percekcokan semakin memanas karena kami berdua tidak ada yang mau mengalah. Aku terus menyalahkannya, sedang dia menganggapku terlalu membesar-besarkan masalah. Sebenarnya bukan sekali saja masalah ini terjadi, hampir setiap kali bertemu dengan keluarga besar Zaky, aku pasti dibuat meradang. Biasanya aku bisa melupakan begitu saja masalah tersebut, namun kali ini aku merasa tersinggung dan tidak dihargai.
Sejak kejadian malam itu, aku justru semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan di kantor. Jujur aku sangat kecewa dengan orang-orang yang tidak pernah memahami posisiku, termasuk suamiku sendiri. Mungkin aku terlihat egois dimata keluarga dan teman-temanku, tapi aku tak peduli lagi.
Menyadari dingin dan acuhnya sikapku, Zaky berusaha mengalah memohon kesediaanku untuk meluangkan sedikit waktu bersamanya, namun aku tak pernah menghiraukan. Seluruh hariku kuhabiskan di kantor, weekendpun tak lagi kuhabiskan bersama suamiku, tapi bersama teman-teman komunitasku. Kebekuan hatiku membuat Zaky tak tahu lagi bagaimana harus mengembalikan suasana indah yang dulu pernah ada.
Sulitnya menyatukan perbedaan diantara kami membuat Zaky seolah menyerah. Dia tak lagi berusaha mengejarku, bahkan aku merasa dia tak lagi mempedulikan aku. Puncak kekesalanku padanya membuatku nekat pergi meninggalkannya sendiri di istana cinta kami. Aku tak lagi peduli kerendahan hatinya saat memohon aku kembali.
                                                                           ***
Beberapa waktu lamanya larut dalam uforia, entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan kesepian yang amat sangat. Aku rindu rayuan dan belai kasih suamiku. Aku ingin dia membutuhkanku dan mengejarku sebagaimana ia lakukan beberapa waktu lalu. Aku benar-benar bingung, perasaan akan yang tengah kualami saat ini?
Perlahan aku mencoba menghubungi ponselnya, namun tak ada jawaban. Mendadak aku cemas, tak biasanya dia mematikan handphonenya. Lalu aku berinisiatif menelpon ke rumah, ternyata dia tak ada di rumah. Menurut Mbok Ijah, sudah sejak pagi suamiku keluar.
Merasa cemas, akupun memutuskan pulang ke rumah. Sore hari, aku mendengar suara mobilnya berhenti di garasi. Dengan perasaan cemas, aku langsung menemuinya.
“Darimana saja sich, Mas. kok ditelpon tidak aktif terus?”tanyaku cemas.
Dia nampak kaget melihat kehadiranku,”Oh, tumben banget kamu pedulikan aku?”tanyanya dengan nada sinis.
Tak mau ribut, akupun meminta maaf atas kelakuanku selama beberapa bulan ini. Tak tampak ekspresi bahagia diwajah suamiku. Jujur aku merasa aneh dan ada sesuatu yang sudah disembunyikan oleh suamiku. Kucoba mengejarnya, namun dia tak jua berterus terang padaku.
Sisi kewanitaanku cukup rapuh menghadapi keanehan ini. Cristal bening tak hentinya menetes di pelupuk mataku ketika memohon agar dia mau menjadi suamiku yang dulu.
“Semua tak lagi sama, ada banyak hal yang berubah pada hidup kita, sayang. Maafkan aku,”ujar Zaky terbata-bata.
Aku mencoba menelisik lebih dalam akan makna ucapannya, namun tak jua mampu kupahami makna yang tersirat dari ucapannya. “berubah, apa yang berubah, mas?”
Zaky tak mampu mengucap sepatah katapun kecuali memeluk erat tubuh istri yang begitu dicintainya. Pikirannya melayang membayangkan sosok wanita yang begitu menghormati dan menghargainya, Aisha. Sebulan sejak kepergian istrinya, wanita cantik dan anggun itu menemani hari-harinya dengan penuh cinta sebagai istri keduanya. Bahkan, dalam rahim wanita itu sudah  tertanam benih cinta yang sudah lama ia rindukan. Aisha sangat ikhlas dan menyadari posisinya sebagai istri kedua, tapi bagaimana dengan Zahrana? “Ya Allah, aku tak pernah menyangka kejadiannya bakal seperti ini,”pekik Zaky.
“Mas, mulai sekarang aku akan berusaha menjadi istri yang lebih baik lagi,”kataku terisak.
Zaky semakin terpojok. Dia merasa senang melihat istrinya kembali seperti dulu, namun disisi yang lain dia merasa bersalah telah membagi hatinya pada wanita yang lain. Ya Allah, apa yang harus kulakukan, kedua istriku begitu istimewa.
“Mas, kamu kenapa diam saja? Apakah kamu masih marah padaku? Hukum aku, Mas. Aku terima jika itu membuatmu mau memaafkanku,”ucapku dengan tubuh terguncang.
Zaky bisa merasakan penyesalan yang istrinya dan dia sudah memaafkan kesalahan istrinya. Namun bagaimana dia sanggup menceritakan kenyataan bahwa dia sudah menduakan istrinya,”Aku juga minta maaf sama kamu, sayang,”ujarnya tiba-tiba.
“Maaf? Mas, tidak bersalah, aku yang sudah melakukan banyak kesalahan padamu,”ucapku kembali merasa cemas.
“Enggak, sayang. Mas… mas juga bersalah sama kamu. Mas sudah menduakan kamu,”ucapnya kikuk.
Bagai dihantam palu godam, sesaat tubuhnya limbung mendengar kenyataan pahit yang baru saja keluar dari mulut suamiku. Sesaat aku merasa sangat kecewa dan putus asa. Air mata kembali mengucur dengan derasnya,”kenapa kamu begitu kejam padaku, mas? tinggalkan dia, kita mulai lagi dari awal, mas.”
Kutatap wajah suamiku yang terlihat gundah. “Ya Allah, benarkah lelaki dihadapanku sudah tega menduakanku?”ucapku terisak. Kucoba menemukan solusi atas masalah yang tengah membelit kami, namun sepertinya suamiku sudah terlalu nyaman dengan pilihannya.
Meskipun sakit, aku mencoba untuk tegar. Dalam keheningan malam, kuhamparkan sajadah dan kutenggelamkan diri dalam sujud panjangku. Kucoba meminta jalan terbaik untuk permasalahan dalam rumah tanggaku. Menerima pernikahan sirrinya dengan wanita lain tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perih kerap menyayat hatiku dan air mataku teramat sulit mengering kala membayangkan sosok disana tengah bermanja dengan suami yang begitu kucintai.
Lama sekali aku berpikir, mencoba memahami posisinya. Kadang sisi hatiku menyalahkan suamiku atas tindakan bodoh yang ditempuhnya, menyalahkan wanita itu yang begitu mudah menerima cinta lelaki padahal sudah tahu statusnya yang sudah beristri, kadangpula menyalahkan diriku sendiri yang tak mampu memahami harapnya. Namun pada akhirnya aku sadar, tidak ada yang salah dalam hal ini karena semua sudah kehendak_Nya.
“Mas, aku tidak akan memaksamu untuk meninggalkan wanita itu. meskipun berat, In Sya Allah aku berusaha ikhlas. Mungkin ini konsekuensi yang harus kuterima akibat keegoisanku dulu,”ucapku dengan suara parau. Jujur aku tak kuasa menahan rasa sakit di hati ketika mencoba ikhlaskan semuanya.
Zaky nampak tak tahan mendengar tangisanku, direngkuhnya tubuhku dalam pelukannya,”maafkan aku, sayang. Aku akan berusaha adil pada kalian.” Bisiknya lembut diujung telingaku.
Pernikahan sirri suamiku menjadi titik balik dalam kehidupan rumah tanggaku. Sejak saat itu, aku memutuskan resign dari kantor demi bisa fokus mengurus keluarga kecilku. Aku tak lagi peduli dengan karier yang dulu begitu kubanggakan. Aku ingin menata ulang rumah tangga yang selama ini kujalani hanya setengah hati, karena hampir separuh waktuku habis untuk membangun karierku. Ya Allah, meskipun terlambat, aku ingin memulainya dari awal. Bantu aku untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anakku kelak. Amin.
Hampir enam tahun lamanya aku menunggu hadirnya buah cinta dalam rahimku, namun tak ada setitikpun tanda-tanda akan kehadirannya. Berbagai ikhtiar sudah kulakukan, namun entah kenapa Allah belum juga berkenan memberikan anamah padaku. Sempat terbersit rasa iri dihatiku manakala tanpa sengaja dia melihat beberapa baju bayi dan mainan dalam mobil suamiku, namun aku berusaha menghalaunya.
Suatu hari, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam rahimku. Ada getaran lembut yang tak biasa disana. Kucoba mengabaikannya, karena aku terlalu takut kecewa untuk yang kesekian kalinya. Namun ternyata denyut-denyut lembut yang selama ini kurasakan bukanlah denyut biasa, karena dia adalah benih cinta yang selama ini begitu kami rindukan.
Kabar indah itu baru kami ketahui setelah iseng-iseng Zakcy memintaku periksa ke dokter karena melihat kondisiku yang menurun saat itu. Usia kehamilanku saat itu memasuki bulan keempat, Subhanallah wal hamdulillah. Semua bukan lagi mimpi. Pelukan erat dan senyum kebahagiaan mengembang dari bibir kedua pasangan suami istri yang saling mencintai ini.
                                                                   ****

Poligami, tidak semua wanita mampu menjalaninya. Namun, jika takdir mengantarkanmu pada poligami, maka sabar dan ikhlaslah, saudaraku. Jangan pernah berusaha menghancurkan rumahnya, atau rumahmu yang sudah kau bangun dengan susah payah bersama suamimu.

Rasulullah saw bersabda: Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) agar ia dapat menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya karena sesungguhnya bagi dirinya ada bagian yang telah ditetapkan. (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra)
Loading...
Previous
Next Post »