Sungguh, Aku Merindukanmu, Ayah!


Ayah hanya ingin berpesan, Jadilah istri yang sholehah, istri yang selalu taat pada suamimu karena Allah,” Pesan Ayah menjelang Ijab Kabul di gelar.
Aku tak kuasa menahan air mataku, sedih menyelinap di hatiku yang terdalam saat mendengar nasehatmu, Ayah. Raut kebahagiaan tergambar jelas di wajahmu saat menyambut menantu baru di tengah keluarga kita.  Satu kebanggaan tersendiri bisa membuatmu tersenyum bahagia, walau kadang dalam hati kecilku bertanya, tidakkah engkau merasa kehilangan aku?
Sejak ibu meninggal, Ayah yang dengan susah payah merawatku sejak aku kecil hingga dewasa. Dengan cucuran keringat dan air mata ia berjuang membesarkan aku seorang diri.  Ayah yang kala itu masih muda, justru memilih mengabaikan permintaan beberapa wanita yang mendamba cintanya. Dia lebih memilih merawat dan membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Aku, sedikitpun belum pernah membalas jasa-jasanya. Tapi kini, ia dengan ikhlas hati merelakan aku mengabdi dan berbakti pada laki-laki yang sedikitpun tak pernah memiliki jasa apapun di masa lalu. “Ya Allah sayangilah orang tuaku seperti mereka menyayangi aku, berikanlah kebahagiaan untuk Ayah dan almarhumah Ibuku,” bisikku dalam hati.
Di tengah kebahagiaan yang membuncah ada rasa gelisah yang tersembunyi, rasa yang tidak mungkin bisa kucegah kehadirannya. Setelah prosesi pernikahan ini, suami akan memboyongku keluar pulau nan jauh demi menjalankan tugas negara. Itu artinya aku harus rela meninggalkan ayah yang sangat kusayangi hingga waktu yang tak mungkin bisa kutentukan.
Aku menikmati saat-saat terakhir bersama keluarga, menatap senyum ceria adik-adikku mampu menyadarkan bahwa kini aku sudah dewasa, tidak sepatutnya aku bersikap kekanak-kanakan.  Aku harus siap dengan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan calon ibu untuk anak-anakku. Aku bertekat untuk bisa hidup mandiri, aku ingin orang tuaku bangga telah membesarkanku sebagai anak pertama.
Tak terasa waktu berjalan dengan cepatnya, seminggu hampir berlalu yang menjadi tanda berakhirnya kebersamaan di rumah orang tuaku. Rasanya sedih sekali harus berpisah dengan orang-orang yang menyayangiku dan yang pasti segala kenangan yang ada di rumahku.  Tapi itu sudah menjadi konsekuensi kami sebelum membina rumah tangga, bahwa aku harus menjadi istri yang selalu mendampingi suamiku dimanapun.
Hari yang biasanya kuhabiskan dalam bingkai kebersamaan dengan keluargaku, justru menjadi moment perpisahan yang memilukan. Tangis dan derai air mata tak mampu lagi kubendung. “Maafkan aku karena tidak bisa lagi melayanimu, ayah,”ucapku sembari terisak.
Sabar ya, Nduk. Jaga dirimu baik-baik disana. Ingat! Anak ayah harus kuat,”ucapnya dengan senyum khasnya.
Meskipun tersungging senyum diwajahnya, namun aku bisa merasakan ada pedih dalam setiap lambaian tangannya. Didalam pesawat, aku tumpahkan seluruh kepedihan yang tak mampu kuluapkan dihadapan ayah dan adik-adikku. Dengan penuh kesabaran, suami membelai lembut rambutku.
Maafkan suamimu ya! Kalau bukan karena tugas penting, aku pasti lebih suka melihatmu bahagia bersama keluargamu,”ucapnya lembut menenangkanku.
Tidak suamiku, kebahagiaanku adalah bersamamu dan kebahagiaan keluargaku adalah saat melihat mahligai rumah tangga kita bisa berdiri kuat dan kokoh selamanya, "ucapku mencoba menghibur hati yang tak menentu.
                                                                             ***
Malam ini terasa indah setelah diguyur hujan seharian. Bintang bersinar seolah mengisyaratkan kedipan indahnya untukku. Juga bulan yang menampakkan sinar cantiknya dan tersenyum menatap mesra padaku. Desahan angin menyatu ke dalam sukma, menggilir anganku berpacu dalam kenangan. 
Keceriaan malam seolah menggambarkan sejuta mimpi yang tengah kudamba sekarang ini. Sebuah impian yang terpendam begitu lama, namun tak jua dapat kuwujudkan. Impian untuk terus hidup berdampingan dengan kedua orang tua yang telah membesarkanku.
Aku terperanjat seketika mendapati bayangan keceriaan kian kabur, menyisakan keheningan malam yang semakin pekat. Pada awalnya, semua terlihat samar-samar untuk kemudian menghilang perlahan. Aku terbangun. Perlahan kukerjap-kerjapkan kedua mataku. Sebuah bingkai foto yang terpahat di dinding menyadarkan aku dimana sekarang berada. Ayah. Entah kenapa beberapa hari ini aku begitu merindukanmu. Ramadhan yang seharusnya indah terasa kurang lengkap karena tak ada sosokmu disisiku.
Ingin rasanya aku pulang ke rumah, bercanda tawa dan berdebat denganmu tentang arti kehidupan. Namun aku tidak sanggup melawan jarak yang membantang jauh. Hanya sesekali aku mampu menghapus kerinduanku dengan mendengar suara paraunya melalui telepon.
Semenjak kepergianku, adik mengatakan jika kesehatanmu mulai menurun. Sungguh aku mencemaskanmu, Ayah. Mendengar kecemasanku, kau hanya terkekeh. Kau katakan bahwa kau baik-baik saja dan bahagia, apalagi jika mendengar kalau aku juga berbahagia.
Duh, ayahku. Hari-hari tanpamu benar-benar membuat hati dilanda rindu yang mendalam. Aku rindu bersimpuh dikakimu seraya mencium lembut punggung tanganmu yang mulai keriput. Tahukah kamu, yah. Perhatian dan kasih sayangmu melekat erat dalam ingatanku, terpatri kuat dalam relung jiwaku.
Pernah aku meminta pada Allah untuk memutar ulang waktu, agar aku bisa tetap merasakan menjadi anakmu. Dimana aku bisa bermanja dalam pelukanmu, mendengarkan ceritamu, berkeluh kesah atas apa yang kualami.
Ayah, pribadimu yang tenang dan kalem, membuat aku takut menyinggung perasaanmu. meskipun kau keras, namun jarang sekali tampak kemarahan diwajahnya. Sungguh kau begitu sempurna dalam mengolah kemarahanmu menjadi nasehat yang membuat kami enggan untuk melanggarnya.
Kalau boleh jujur, aku begitu mencemaskanmu. Ragamu yang kian lemah, tak lagi sekokoh dulu. Beragam penyakit bersarang di tubuhmu yang menjadikan langkahmu terseok tak lagi setegap dulu. Aku belum siap, jika suatu hari harus menghadapi kemungkinan terburuk dari perpisahan. Karena aku, belum bisa membahagiakanmu, belum bisa membalas setiap tetes darah yang kau tumpahkan untukku.  Belum bisa menghapus setiap tetes keringat yang kau cucurkan demi mendidik dan membesarkanku. “Ya Allah, bantu aku agar bisa merealisasikan janji-janjiku pada ayahku. Amin” bisikku dalam doa di sepertiga terakhir.
Loading...
Previous
Next Post »