Doa Tulus Suami yang Menghancurkan Keegoisan Istri

Dalam kelamnya malam, kuterdiam sepi melawan kerinduan yang mendalam. Entah kenapa tiba-tiba saja ingatanku tertuju padamu, padahal sudah beberapa hari lalu aku berhasil menghalaunya. Perhatian tulusmu padaku serasa mampu mengikis sebongkah ego yang bersarang dalam  hatiku.
“Win, kamu kenapa lagi?”tanya mama ketika mendapati aku tak nafsu menyantap hidangan makan malam.
“Pasti kamu ingat sama suamimu ya?”tebak mama. “Kamu harus membiasakan diri hidup tanpanya, jangan manja!”tambahnya.
Jujur aku mulai bisa menebak arah pembicaraan mama. Dari awal dia memang kurang menyetujui hubungan kami. Karena itu begitu ada sedikit kelemahan mas Farhan yang membuatku jenuh, mama langsung memberondongku dengan jurus ampuhnya agar aku mau meninggalkan suamiku dan mengikuti keinginannya menikah dengan cowok yang lebih mapan dan modern.
“Ma, sudahlah jangan menghina suamiku lagi. Kemarin aku memang sempat marah atas sikapnya yang menyebalkan, namun bukan berarti aku bisa semudah itu melupakannya,”jawabku perlahan.
Seperti perkiraanku, mama pasti akan semakin emosi mendengar pembelaanku kepada suamiku,”kamu itu anakku, aku yang tahu mana yang terbaik untukmu,”ujarnya ketus.
“Kenapa mama jadi memaksaku? Ma, aku sudah dewasa, jadi biarkan aku yang menentukan sendiri arah mana yang harus kutempuh,”jawabku.
Mendengar ketegasanku, mama langsung terdiam. Sepertinya dia mulai sadar bahwa pikiranku mulai waras. Rasa cinta dan perhatian suamiku sedikit demi sedikit mampu mengembalikan kesabaran dan kerinduanku akan sebuah pernikahan utuh. Yach, aku benci perceraian, aku pernah berjanji pada diriku sendiri bahwa akan menjaga ikatan suci pernikahan hingga ajal memisahkan. Aku sadari, ternyata bukan hal mudah untuk mewujudkannya.
                                                                      ***
Aku terlahir dari keluarga broken home. Sejak bercerai dari papa, mama memutuskan menikah dengan pengusaha kaya yang kabarnya menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Sedang papa memilih tetap fokus merawatku dalam kondisi yang serba pas-pasan. Berbagai cara dilakukan mama untuk bisa mendapatkan hak asuh atasku, namun pada saat itu aku yang masih kecil justru bersikukuh memilih ikut papa.
Setelah menikah, aku merasa kalau mama menjadi sosok yang sangat mengerti aku. Berbeda dengan papa yang selalu menuntutku untuk hormat dan mengalah pada suami. Papa selalu marah kalau aku membentak atau tidak menuruti nasihat suamiku. Aku benar-benar bosan dengan kehidupan yang monoton, berbakti dan berbakti. Lalu kapan aku bisa bebas menjadi diriku sendiri?
Mama dengan segala rayuannya berhasil mencuri hatiku. Memalingkan aku dari kebosanan menjalani status sebagai istri. Setiap hari, mama mengajakku hang out bareng teman-temannya. Sekali dua kali, suamiku mengijinkan. Namun lama kelamaan dia merasa tidak nyaman dengan kebiasaanku, lantas dia mulai membatasi dan melarangku ikut mama keluar rumah.
Aku yang sudah merasakan asyiknya kebebasan, mulai berani membantah bahkan terang-terangan melanggar larangannya untuk keluar dengan mama dan gangnya. Aku semakin berani manakala mama mendukungku, bahkan menyalahkan sikap suamiku yang kolot. Terakhir kalinya aku justru mulai berani meninggalkan rumah suamiku demi mengikuti ajakan mama.
Mas Farhan bukannya diam, berkali-kali dia menjemputku pulang. Namun kewarasanku yang hilang kala itu membuatku nekat mengeluarkan kata-kata yang tidak layak.
“Ceraikan aku! Aku sudah tidak tahan hidup dengan suami kuno sepertimu, mas”ucapku dengan nada tinggi.
Dengan sabar mas Farhan memintaku beristighfar,”kamu adalah istriku, pertama dan terakhir. Aku tidak akan pernah menyebut kata-kata itu sampai kapanpun.”
Begitulah mas Farhan, dia selalu mengatakan bahwa perceraian adalah haram baginya, meskipun Allah membolehkannya. Meskipun tahu kalau dia tak akan melepasku, namun aku tak mau menyerah. Berkali-kali aku menelponnya, menerornya dengan kata-kata yang sangat tidak pantas, bahkan aku pernah mengancamnya akan memaksa menikah siri dengan lelaki lain bila dia tak segera menceraikanku. Namun dia tetap bersikukuh menungguku kembali dalam pelukannya.
                                                                      ***
Alarm pengingat di Hpku terus berdering. Aku terhenyak seketika, Ya Allah, hari ini tepat  3 tahun usia pernikahan kami. Segera kumatikan alarm, dan coba menghapusnya dari ingatanku. Anehnya, hatiku merasakan desiran hebat yang kemudian menghadirkan masa-masa indah dimana aku dan mas Farhan menjalani kebersamaan.
Kerinduanku padanya kian menyeruak mengikis kebencian dan kekesalan yang selama beberapa hari ini menerpa. Sensasi luar biasa itu terus mengusikku hingga tanpa sadar, akupun berlari menuju kamar. Kuraih handphone, perlahan aku mulai membuka dan membaca beberapa SMS dari suamiku yang selama beberapa hari ini kuabaikan begitu saja.
Kulihat ada puluhan SMS darinya, dua diantaranya mampu membuat hatiku didera rasa nelangsa dan tak mampu menahan kerinduan akan sosoknya yang begitu sabar dan penyayang.
Sayang, bentar lagi ulang tahun pernikahan kita nih. Tidakkah kau ingat masa indah bersamaku? sungguh, aku merindukanmu.
Sayang, sebelum hari ulang tahun pernikahan kita, aku berharap kamu sudah ada disampingku. Bagiku, kamulah kado terindah dalam hidupku. Aku mohon maaf atas segala khilaf ya! semoga kedepannya hubungan kita bisa lebih baik lagi.
Cristal bening terus berjatuhan di pelupuk mataku. Ada sesal yang mendera karena sudah mengabaikan permintaan maafnya. Ternyata diamnya aku dan cueknya sikapku tak jua membuatnya berniat membalasku, bahkan dia semakin berharap agar aku sadar dan kembali dalam pelukannya.
Aku benar-benar tak bisa menahan perasaan yang tengah berkecamuk dalam hatiku, “Mas, ampuni kekhilafan istrimu. Sungguh, aku tak layak mendapatkan suami terbaik sepertimu,”ucapku sesengukan.
Aku mendengar suamiku menarik nafas lega,”alhamdulillah sayang, akhirnya kamu mau menghubungiku lagi, terima kasih ya Allah.”
Sejenak, kami meluapkan kerinduan yang terpendam selama seminggu lamanya tinggal terpisah.
“Jangan tinggalkan aku lagi ya! aku tak sanggup hidup tanpamu, sayang,”pintanya penuh harap.
“Udah begini aja? Tidak ingin menjemputku pulang kerumah?”godaku manja. Kudengar suamiku tertawa lepas sembari bersiap menjemputku.
Dengan perasaan sedikit kecewa, akhirnya mama mengikhlaskan keputusanku kembali ke pelukan suamiku. Aku bisa melihat ada setitik kebahagiaan terpancar diwajah suamiku. Eratnya genggaman tanganya mengisyaratkan ketakutannya akan kehilanganku.
Suamiku, tahukah kamu, sebenarnya bukan kamu saja yang takut kehilangan moment indah ini, aku dengan kewarasanku demikian berharap bisa mereguk kembali manisnya cinta bersamamu, bisikku dalam hati sembari terus menjejakkan kakiku menuju ke rumah.
Jika selama ini, diam dianggap emas. Maka diamku justru hampir menenggelamkan aku dalam kubang kehancuran. Aku tak mau lagi terdiam, aku harus bicara dan bergerak hingga suatu saat nanti kami berhasil mewujudkan semua impian dan harapan.
Ramadhan yang kubayangkan akan penuh kehampaan, justru sebaliknya penuh kemesraan. Tak seperti biasanya dia yang selalu memanjakanku dengan perhatian dan kasih sayangnya. Kini justru kami saling memanjakan satu sama lain.
“Subhanallah, aku jadi sadar bahwa ada banyak hikmah dibalik kejadian yang menimpa rumah tangga kita,”kata suamiku.
“Heeh, aku jadi semakin tahu bahwa kamulah sosok terbaik yang dikirimkan Allah untuk menjadi imamku,”ujarku dengan senyum penuh arti. Lagi-lagi dia menggodaku dengan ucapannya yang membuat wajahku merona merah.
Kami saling berjanji tak akan mengambil langkah “Diam” ketika masalah mendera. Apapun masalah yang menimpa, baik kecil maupun besar harus diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Diam akan membuat masalah semakin bertumpuk, dan diam juga akan membuat solusi kian sulit ditemukan.
Loading...
Previous
Next Post »