Gara-Gara Oplosan, Nyawa Putraku Melayang

Gambar dari sini


Aku hanya bisa memandangnya dengan sejuta perasaan bersalah yang menyeruak di dada. Kubiarkan tangannya menggenggam erat tanganku, seolah mengisyaratkan betapa saat ini ia sangat membutuhkanku. Sesekali tanganku menyeka keringat yang membasahi wajahnya, dan kaupun tersenyum. Kusadari, ternyata sudah lama sekali aku tidak melihatnya tersenyum.
Hampir setiap hari aku membenamkan diri, berkutat dengan bisnis manis yang menjadi sumber kebahagiaanku selama ini, yach… judi, bola, dan uang, bagiku tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini semua. Mataku kian menghangat menyaksikan pemandangan ini, beban penyesalan terasa kian menyesakkan dada. Seandainya…. Seandainya… dan seandainya…. Hanya itu yang tengah mengisi ruang kosong diotakku.
                                                                          ***
Uforia pergantian tahun kian terasa saat hari menjelang malam. Seperti biasa, setiap menyambut pergantian tahun, aku selalu mengundang orkes dangdut yang biasa tampil di lapangan depan rumah. Semua orang turut bergembira, mereka asyik dengan aktifitasnya masing-masing, mulai dari bakar ikan, menyulut petasan, berjoget ria, dan pesta kembang api. Rumahku memang menjadi base camp bagi para tetangga, baik tua maupun muda. Semua itu karena aku dan istriku sangat supel, dan pandai pergaul. Kami memiliki banyak teman yang siap menyambut kemeriahan pesta pergantian tahun.
Berbeda dengan kedua orang tuanya, anak pertamaku Reno justru memiliki sifat yang bertentangan, dia lebih pendiam, jarang bergaul, dan terkesan kuper. Di saat orang tengah sibuk pesta, dia malah asyik main game di kamarnya. Kesempatan ini kugunakan untuk merubah kebiasaan anak laki-lakiku, aku ingin dia bergaul dengan teman-temannya. Lalu aku menyuruh beberapa anak muda yang tengah asyik bermain kartu untuk mengajak Reno keluar. Dan, berhasil. Reno memang selalu menuruti panggilanku. Aku senang melihat Reno mulai bergabung dengan kelompok pemuda yang tengah asyik menikmati malam pergantian tahun.
Malam semakin larut, para perempuan dan anak-anak mulai pulang ke rumah masing-masing.  Tapi para laki-laki masih tetap asyik dengan aktivitas masing-masing, ada yang bermain kartu, bercanda tawa, bahkan ada yang minum-minuman keras.  Kegiatan kami terasa semakin menyenangkan diiringi alunan merdu sang biduan. Malam ini, aku tidak peduli sudah berapa banyak uang yang sudah keluar demi acara tahunan ini. Yang penting happy, begitulah prinsipku.
Begadang semalaman membuatku tak mampu membuka mata pagi harinya.  Walhasil, hampir seharian aku menikmati hariku dalam buaian mimpi, tak peduli meski perut ini terasa lapar dan tubuh ini juga butuh guyuran air. Tiba-tiba aku dikejutkan suara Dinda, anakku yang kedua membangunkanku. Sayup-sayup kudengar dia mengatakan kalau kakak Reno muntah-muntah. Dengan mata terpejam, aku memintanya memanggil ibunya, kemudian aku kembali terlelap.
Malam harinya, aku begitu panik saat mendapati tubuh Reno kejang-kejang. Lalu, kami membawanya ke Rumah sakit. Hasil pemeriksaan Dokter sangat mengejutkan, beberapa organ tubuh Reno mengalami kerusakan. Kucoba menanyakan penyebabnya, ternyata karena Reno minum minuman oplosan. Astaghfirullah, aku terduduk lemas, kedua kakiku tak mampu lagi menopang berat tubuhku, aku limbung setelah Dokter mengatakan kemungkinan terburuk yang akan menimpa anakku. Benarkah Reno akan mengalami gangguan jiwa?
Kejadian malam itu menyisakan tragedi yang amat memilukan, Reno yang malang. Demi dikatakan sebagai anak gaul, Reno rela menenggak minuman oplosan bersama teman-temanku. Minuman sialan yang mengakibatkan tubuh Reno tidak bisa berfungsi dengan sempurna.  Seluruh persendian Reno nyaris lemah lunglai, tak mampu lagi digerakkan. Dia hanya terbaring lemas di ranjang, sambil sesekali bertanya padaku, kapan dia bisa pulang karena dia ingin pergi ke sekolah. aku hanya bisa membujuknya.
Kesedihanku semakin bertambah saat Reno tak lagi bisa mengenali keluarga besarnya. Bahkan dia juga melupakan aku dan istiku sebagai orang tuanya. Tingkahnya semakin aneh, kata-katanya seperti anak kecil. Tapi dengan penuh kesabaran, aku dan keluarga besar berusaha merawat Reno dengan sebaik-baiknya. Keadaan Reno mulai membaik, anggota tubuhnya mulai bisa digerakkan, bahkan dia sudah bisa berjalan seperti biasa, hanya saja kondisi kejiwaannya masih labil.
Setelah hampir seminggu menjalani perawatan di Rumah sakit tersebut, Dokter mengijinkan Reno pulang. Tapi Dokter menyarankan agar kami membawa Reno ke rumah sakit jiwa untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Sebagai orang tua tentu aku sangat tidak setuju jika anakku harus berkumpul dengan orang gila, karena aku yakin bahwa anakku tidak gila. Akhirnya, keluarga besarku memutuskan membawa Reno pulang ke rumah.
Hari-hari terasa kian berat, aku tidak sanggup lagi melihat penderitaan Reno. Banyak orang empati padanya, tapi tak jarang pula yang menertawakan tingkah lakunya.  Tingkah Reno semakin tak terkendali, Reno yang pendiam itu berubah menjadi pemarah.  Bahkan kalau sudah mengamuk, dia bisa membanting apa saja yang ada dihadapannya. Adik-adiknya mulai ketakutan dengan perubahan sikap kakaknya. Seringkali, aku harus menahan kantuk karena menjaganya.
Dengan berat hati, kami memutuskan membawa Reno ke Rumah sakit jiwa. Kami berharap kondisi Reno semakin membaik setelah menjalani perawatan di sana. Tapi kenyataan berkata lain, setelah hampir dua minggu kami harus bolak-balik RS ke rumah yang jaraknya lumayan jauh. Reno tak juga mengalami perubahan, kondisi kejiwaannya semakin memburuk ditambah lagi kondisi fisiknya juga mulai melemah.
                                                                      ***
Semua usaha kami lakukan demi kebaikan Reno, namun kami hanya bisa pasrah pada-Nya, jikalau sesuatu yang lebih buruk bakal menimpa keluarga kami. Dan kenyataan pahit itulah yang akhirnya harus kami telan, setelah menjalani perawatan di rumah sakit terbesar di Jawa Timur, akhirnya Reno menghembuskan nafas terakhirnya tepat dipangkuanku. Kami sekeluarga merasa kehilangan Reno, namun kami berusaha mengikhlaskan kepergiannya.
Menyesalkah aku atas musibah yang menimpa? Rasanya penyesalanku hanya berbuah kesia-siaan karena Reno takkan mungkin bisa kembali. Kini, aku hanya bisa mengukir memori, mengenang dosa masa lalu untuk kemudian mengucap “istighfar” dan memohon ampunan-Nya. Aku yakin bahwa ini adalah cara terbaik yang diberikan Tuhan untuk mengembalikan aku kejalan-Nya.
Aku berjanji, akan menanggalkan pakaian dosa yang selama ini kubanggakan. Aku akan berusaha mengais rejeki dengan jalan yang halal dan diridhoi-Nya. Semua itu tidak saja demi Reno tapi juga demi anak-anakku yang lain. Aku selalu berdo’a agar Tuhan senantiasa membimbing aku dan juga keluargaku untuk selalu istiqomah di jalan-Nya.
Kisah diatas merupakan salah satu kisah nyata ÿang saya tulis dan diterbitkan bersama kisah teman-teman di Buku "Storycake Indahnya Tobat" terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Loading...
Previous
Next Post »