Gambar |
Reuni menjadi salah satu acara yang paling kuhindari, karena aku tahu banyak topeng kepalsuan yang ditunjukkan teman-temanku. Hampir semua berlomba-lomba memamerkan kesuksesan, kekayaan, dan segala tetek bengek duniawi. Setali tiga uang dengan suamiku yang tidak suka dengan acara reuni, hingga akhirnya kami memutuskan untuk tidak pernah ada yang menghadiri undangan reuni.
Meski begitu aku tidak berusaha memutus tali silaturrahmi dengan sahabat-sahabat baikku semasa sekolah, kuliah, atau bekerja. Kami masih sering ketemuan dan jalan bareng. Dari curhat hingga akhirnya kamipun saling mendukung satu sama lainnya.
Awalnya aku selalu bangga dengan statusku sebagai ibu rumah tangga. Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa tidak percaya diri dihadapan teman-temanku. Mungkin benar kata mereka, siapa sich yang tidak bisa menjadi ibu rumah tangga?
“Dengan berkarier, otomatis anak-anakmu akan mandiri,”ujar Windy yang paling getol mendorongku berkarier.
“Iya nih, hari gini mau jadi ibu rumah tangga,”ujar Nara disertai gelak tawa yang lainnya.
Diam-diam aku membenarkan pendapat teman-temanku. Selama ini aku memang lelah dan bosan menjalani hari-hariku yang monoton. Rasa tidak nyaman kembali merasuk dalam kalbu manakala mendapati anak-anak temanku yang terlihat mandiri dan tidak lengket seperti anak-anak kepadaku. Jujur ada rasa iri yang menjalar disetiap nadiku, “betapa enaknya teman-temanku, “gumanku.
Sepulang dari hang out bareng teman-temanku, aku sengaja mengunci diri dalam kamarku. Aku juga membentak anak-anak ketika mereka memintaku menemaninya bermain. Mendapati sikapku yang aneh, sontak suamiku menghampiriku.
“Kamu baik-baik saja kan, Ma?”ujarnya seraya meraba keningku.
Aku hanya diam membisu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba rasa benci menyeruak dalam kalbuku, sisi hatiku yang lain menyalahkan kebodohanku kenapa harus menuruti perintah suami untuk resign dari kantor.
“Ma, anak-anak menunggumu tuh,”ujar suamiku mencoba mencairkan suasana.
“Kamu kan bisa menemani mereka, memangnya harus aku?”bentakku seraya memalingkan muka darinya.
Dia nampak tercengang dengan perubahan sikapku. Tak mau memperpanjang masalah, suamikupun berlalu menghampiri kedua putraku yang tengah bermain puzle. Dengan sabar, dia mendampingi anak-anak bermain hingga mereka lelap tertidur di pembaringan.
Setelah semua aman, suamiku kembali menemuiku di kamar. Perlahan sekali dia bangunkan aku. Awalnya aku enggan membuka mata, namun perutku yang sedari siang terasa lapar langsung berontak manakala melihat makanan yang tersaji meja kamarku.
“Makan dulu, Ma. Ini aku buatkan nasi goreng,”ujarnya seraya menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.
Mendadak hatiku trenyuh, ternyata suamiku bisa menghandle semua pekerjaan tanpaku. Dengan perasaan tak menentu, akupun menurut saja ketika ia menyuapiku sampai habis.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bersikap aneh seharian ini, ma?”tanyanya terlihat cemas.
Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya, namun lagi-lagi sisi hatiku yang terdalam mendorongku untuk jujur padanya,”aku ingin bekerja, aku ingin seperti teman-temanku,”jawabku.
“Lalu anak-anak bagaimana?”tanya suamiku gusar.
Akupun menjelaskan bahwa sudah saatnya anak-anak belajar mandiri dan tidak tergantung pada ibunya. “Aku akan cari asisten rumah tangga untuk mengurus kebutuhan mereka,”ucapku perlahan.
Suamiku nampak keberatan dengan usulku. Menurutnya, anak-anak terlalu berharga untuk dititipkan kepada asisten rumah tangga. Aku sangat tersinggung, karena apa yang sudah kuusulkan justru dimentahkan oleh suamiku. Aku tak mampu menahan diri lagi, semburan kata-kata pedas terus terlontar dari mulutku.
“Kamu jangan egois, kamu pasti iri kan kalau aku bisa mendapatkan gaji lebih tinggi darimu?”ujarku seraya menatapnya tajam.
Kulihat suamiku hanya diam saja, sedikitpun dia tak berusaha melawan hinaan dan cemoohanku. Tadinya aku berharap dia akan marah dan membalas ucapanku, tapi nyatanya dia justru menyerahkan semua keputusan padaku.
“Sudahlah, Ma. Aku tidak mau ribut. Silahkan saja kalau kamu mau berkarier lagi, biarkan anak-anak sama aku saja,”ujarnya seraya mendongakkan kepalanya ke atap. Aku tahu, dia sengaja menahan air matanya yang hendak menetes ke pipinya.
***
Berkarier membuatku merasa menjadi diriku seutuhnya. Rasa percaya diri yang selama ini terkikis oleh statusku sebagai ibu rumah tangga perlahan mulai tumbuh dan meningkat. Setiap hari aku terus disibukkan dengan jadwal tugas di kantor. Awalnya aku masih peduli dengan anak-anak, namun lama kelamaan, aku mulai lupa dan tak lagi menghiraukannya.
Suamiku disela-sela kesibukannya tetap berusaha menemani dan memperhatikan anak-anak. aku tahu, namun menurutku itu sudah jadi konsekuensi yang harus ia tanggung atas pilihannya. Seandainya saja dia mau menuruti usulku dengan memakai jasa baby sister, pasti dia tidak akan kerepotan seperti itu.
“Mas, kamu itu kenapa tidak menuruti kata-kataku. Merawat anak-anak itu capek, mas. ada baiknya kalau kita sewa jasa baby sister,”kataku untuk kesekian kalinya saat melihatnya wajah dan fisiknya yang terlihat lelah.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya,”biarkan anak-anak bersamaku, kamu tidak usah memikirkannya lagi,”jawabnya singkat.
Hari terus berlalu dengan cepatnya. Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku di kantor. Sementara suami dan anak-anak juga terlihat asyik dengan rutinitas hariannya. Jika sebelumnya, aku masih dibuat kesel karena anak-anak masih sering mengganggu dan mencoba bermanja denganku. Kini mereka justru terlihat mandiri dan tak lagi mendekatiku.
Awalnya aku merasa senang dan bebas dengan kemandirian anak-anakku. Namun lama kelamaan, aku merasakan ada yang hilang dari hidupku. Ada rasa hampa merasuk dalam sukmaku. Lama sekali kucoba mencari jawaban atas ketidaknyamanan ini, namun tak jua kutemukan.
Rasa hampa terus kurasakan meskipun gemilangnya karier berhasil kudapatkan. Aku sempat bertanya, “apakah yang tengah menimpaku?” Kenapa aku begitu tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Baru kutahu jawabannya, ketika aku mencoba berbagi kebahagiaan pada suami dan anak-anakku atas jabatan yang berhasil kuraih. Mereka justru bersikap biasa-biasa saja, tak ada rasa bangga apalagi bahagia menyambut keberhasilanku.
“Eh, mama udah pulang tuh, ucapin selamat dong,”kata suamiku seraya mengucapkan selamat padaku.
Kedua putraku terlihat acuh tak acuh padaku. Setelah didesak ayahnya, mereka baru mau mengucapkan selamat padaku, “Selamat ya, Ma,”katanya singkat.
Cristal bening meleleh dipipiku. Ternyata sangat sakit diacuhkan oleh anakku sendiri. Aku sadar, mungkin rasa hampa ini yang selama ini mereka rasakan kala aku memaksanya untuk mandiri. Kini giliran mereka sudah mandiri, Hampa itu justru menyiksaku. Ampuni aku, Ya Allah.....
Meski begitu aku tidak berusaha memutus tali silaturrahmi dengan sahabat-sahabat baikku semasa sekolah, kuliah, atau bekerja. Kami masih sering ketemuan dan jalan bareng. Dari curhat hingga akhirnya kamipun saling mendukung satu sama lainnya.
Awalnya aku selalu bangga dengan statusku sebagai ibu rumah tangga. Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa tidak percaya diri dihadapan teman-temanku. Mungkin benar kata mereka, siapa sich yang tidak bisa menjadi ibu rumah tangga?
“Dengan berkarier, otomatis anak-anakmu akan mandiri,”ujar Windy yang paling getol mendorongku berkarier.
“Iya nih, hari gini mau jadi ibu rumah tangga,”ujar Nara disertai gelak tawa yang lainnya.
Diam-diam aku membenarkan pendapat teman-temanku. Selama ini aku memang lelah dan bosan menjalani hari-hariku yang monoton. Rasa tidak nyaman kembali merasuk dalam kalbu manakala mendapati anak-anak temanku yang terlihat mandiri dan tidak lengket seperti anak-anak kepadaku. Jujur ada rasa iri yang menjalar disetiap nadiku, “betapa enaknya teman-temanku, “gumanku.
Sepulang dari hang out bareng teman-temanku, aku sengaja mengunci diri dalam kamarku. Aku juga membentak anak-anak ketika mereka memintaku menemaninya bermain. Mendapati sikapku yang aneh, sontak suamiku menghampiriku.
“Kamu baik-baik saja kan, Ma?”ujarnya seraya meraba keningku.
Aku hanya diam membisu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba rasa benci menyeruak dalam kalbuku, sisi hatiku yang lain menyalahkan kebodohanku kenapa harus menuruti perintah suami untuk resign dari kantor.
“Ma, anak-anak menunggumu tuh,”ujar suamiku mencoba mencairkan suasana.
“Kamu kan bisa menemani mereka, memangnya harus aku?”bentakku seraya memalingkan muka darinya.
Dia nampak tercengang dengan perubahan sikapku. Tak mau memperpanjang masalah, suamikupun berlalu menghampiri kedua putraku yang tengah bermain puzle. Dengan sabar, dia mendampingi anak-anak bermain hingga mereka lelap tertidur di pembaringan.
Setelah semua aman, suamiku kembali menemuiku di kamar. Perlahan sekali dia bangunkan aku. Awalnya aku enggan membuka mata, namun perutku yang sedari siang terasa lapar langsung berontak manakala melihat makanan yang tersaji meja kamarku.
“Makan dulu, Ma. Ini aku buatkan nasi goreng,”ujarnya seraya menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.
Mendadak hatiku trenyuh, ternyata suamiku bisa menghandle semua pekerjaan tanpaku. Dengan perasaan tak menentu, akupun menurut saja ketika ia menyuapiku sampai habis.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu bersikap aneh seharian ini, ma?”tanyanya terlihat cemas.
Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya, namun lagi-lagi sisi hatiku yang terdalam mendorongku untuk jujur padanya,”aku ingin bekerja, aku ingin seperti teman-temanku,”jawabku.
“Lalu anak-anak bagaimana?”tanya suamiku gusar.
Akupun menjelaskan bahwa sudah saatnya anak-anak belajar mandiri dan tidak tergantung pada ibunya. “Aku akan cari asisten rumah tangga untuk mengurus kebutuhan mereka,”ucapku perlahan.
Suamiku nampak keberatan dengan usulku. Menurutnya, anak-anak terlalu berharga untuk dititipkan kepada asisten rumah tangga. Aku sangat tersinggung, karena apa yang sudah kuusulkan justru dimentahkan oleh suamiku. Aku tak mampu menahan diri lagi, semburan kata-kata pedas terus terlontar dari mulutku.
“Kamu jangan egois, kamu pasti iri kan kalau aku bisa mendapatkan gaji lebih tinggi darimu?”ujarku seraya menatapnya tajam.
Kulihat suamiku hanya diam saja, sedikitpun dia tak berusaha melawan hinaan dan cemoohanku. Tadinya aku berharap dia akan marah dan membalas ucapanku, tapi nyatanya dia justru menyerahkan semua keputusan padaku.
“Sudahlah, Ma. Aku tidak mau ribut. Silahkan saja kalau kamu mau berkarier lagi, biarkan anak-anak sama aku saja,”ujarnya seraya mendongakkan kepalanya ke atap. Aku tahu, dia sengaja menahan air matanya yang hendak menetes ke pipinya.
***
Berkarier membuatku merasa menjadi diriku seutuhnya. Rasa percaya diri yang selama ini terkikis oleh statusku sebagai ibu rumah tangga perlahan mulai tumbuh dan meningkat. Setiap hari aku terus disibukkan dengan jadwal tugas di kantor. Awalnya aku masih peduli dengan anak-anak, namun lama kelamaan, aku mulai lupa dan tak lagi menghiraukannya.
Suamiku disela-sela kesibukannya tetap berusaha menemani dan memperhatikan anak-anak. aku tahu, namun menurutku itu sudah jadi konsekuensi yang harus ia tanggung atas pilihannya. Seandainya saja dia mau menuruti usulku dengan memakai jasa baby sister, pasti dia tidak akan kerepotan seperti itu.
“Mas, kamu itu kenapa tidak menuruti kata-kataku. Merawat anak-anak itu capek, mas. ada baiknya kalau kita sewa jasa baby sister,”kataku untuk kesekian kalinya saat melihatnya wajah dan fisiknya yang terlihat lelah.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya,”biarkan anak-anak bersamaku, kamu tidak usah memikirkannya lagi,”jawabnya singkat.
Hari terus berlalu dengan cepatnya. Aku semakin tenggelam dalam kesibukanku di kantor. Sementara suami dan anak-anak juga terlihat asyik dengan rutinitas hariannya. Jika sebelumnya, aku masih dibuat kesel karena anak-anak masih sering mengganggu dan mencoba bermanja denganku. Kini mereka justru terlihat mandiri dan tak lagi mendekatiku.
Awalnya aku merasa senang dan bebas dengan kemandirian anak-anakku. Namun lama kelamaan, aku merasakan ada yang hilang dari hidupku. Ada rasa hampa merasuk dalam sukmaku. Lama sekali kucoba mencari jawaban atas ketidaknyamanan ini, namun tak jua kutemukan.
Rasa hampa terus kurasakan meskipun gemilangnya karier berhasil kudapatkan. Aku sempat bertanya, “apakah yang tengah menimpaku?” Kenapa aku begitu tersiksa dengan perasaanku sendiri.
Baru kutahu jawabannya, ketika aku mencoba berbagi kebahagiaan pada suami dan anak-anakku atas jabatan yang berhasil kuraih. Mereka justru bersikap biasa-biasa saja, tak ada rasa bangga apalagi bahagia menyambut keberhasilanku.
“Eh, mama udah pulang tuh, ucapin selamat dong,”kata suamiku seraya mengucapkan selamat padaku.
Kedua putraku terlihat acuh tak acuh padaku. Setelah didesak ayahnya, mereka baru mau mengucapkan selamat padaku, “Selamat ya, Ma,”katanya singkat.
Cristal bening meleleh dipipiku. Ternyata sangat sakit diacuhkan oleh anakku sendiri. Aku sadar, mungkin rasa hampa ini yang selama ini mereka rasakan kala aku memaksanya untuk mandiri. Kini giliran mereka sudah mandiri, Hampa itu justru menyiksaku. Ampuni aku, Ya Allah.....
Loading...