Kesedihan Menantu yang dicemburui Mertua

Tak mudah menyatukan banyak kelapa, jika masing-masing beda misinya. Setelah menikah, aku begitu mendamba suasana rumah yang nyaman. Namun sepertinya akan sulit terwujud, karena suamiku lebih memilih membawaku tinggal serumah dengan ibunya. Awalnya aku menolak keinginannya dan lebih memilih menempati rumah baru hadiah pernikahan kami dari orang tuaku. Setelah berunding, akupun akhirnya mengikuti kemauannya.
Hari-hari pertama tinggal bersama mertua, semuanya terlihat lancar tanpa ada masalah. Seiring berjalannya waktu, hati mulai bisa merasakan ada yang beda dengan sikap mertuaku. Dia yang tadinya terlihat baik dan sayang padaku, berbalik acuh dan kerapkali menyindirku.
Kucoba bersabar menghadapi semuanya, karena kutahu tak ada untungnya mengadukan semua keburukan ibu kepada suamiku. Namun semakin lama, sikap dan perlakuannya semakin memancing amarahku. Berkali-kali kucoba mengadukan masalah mertuaku kepada ibuku, namun lagi-lagi dia memintaku bersabar dan tetap menghormatinya.
Kejadian pagi itu menjadi awal dari segala masalah. Meskipun kurang pandai mengolah masakan, aku berusaha memasak sendiri menu sarapan untuk suamiku. Namun pagi itu ada yang beda, ibu bangun lebih awal untuk memasak masakan special. Awalnya aku berpikiran positif, mungkin saja dia sedang kangen dengan dapurnya. Dan benar saja, pagi ini Mas Azzam lebih memilih masakan buatan ibunya dibandingkan mencicipi masakanku.
Lagi-lagi aku mencoba berpikir positif, mungkin saja suamiku rindu masakan ibunya karena memang beberapa bulan ini selalu menikmati masakanku. Namun aku melihat pandangan puas dari ibu karena merasa sudah mengalahkanku.
“Biarkan aku yang bereskan semuanya, Bu,”tawarku ketika selesai sarapan.
“Nggak usah,”ucap ibu seraya menggoyangkan telapak tangannya. Akupun segera berlalu dari hadapannya. Dari kamar, aku melihat ibu membereskan semuanya sendiri.
Malam harinya, kejadian tersebut berulang. Ibu kembali berkutat di dapur untuk memasak menu special untuk makan malam kami. Bahkan dia menolak keras ketika aku mencoba menawarkan bantuan. Lagi-lagi aku melihat suamiku terlihat lahap menyantap menu makan malam buatan ibunya.
Berhari-hari lamanya ibu terus menguasai dapur dan tidak memberiku kesempatan untuk belajar bersamanya. Padahal aku sangat ingin membahagiakan suamiku dengan tanganku sendiri, sebagaimana kebahagiaan suamiku kala menyantap masakan ibunya. Jujur, ada rasa cemburu memenuhi rongga dadaku.
Suatu kali, kucoba mengungkapkan rasa sesak dalam dadaku kepada suamiku manakala melihatnya lebih memilih masakan ibunya dibanding masakanku. Ketika aku tak mendapat kesempatan belajar di dapur, padahal aku sangat ingin membuat masakan kesukaan suamiku sendiri. Dia hanya tersenyum dan dengan mudahnya mengatakan bahwa kebahagiaannya adalah bisa bersamaku dan ibunya.
“Mas, aku mengerti, tapi tahukah kamu bahwa aku juga ingin bahagia,”ucapku dengan nada kecewa.
“Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Kita nikmati aja semua yang ada ya,”ujar suamiku coba menenangkan.
Namun aku tidak bisa berpikir sesimpel itu. Bagaimana mungkin aku bisa bahagia kalau sebagian peranku diambil paksa oleh ibu mertuaku. Berhari-hari lamanya aku dilanda rasa benci dan putus asa melihat sikap dan perlakuan ibu serta suamiku. Ingin rasanya aku lagi ke tempat yang jauh dan berteriak sekerasnya untuk melepas rasa yang ada.
Diam saja dan membiarkan semuanya berlalu seperti apa adanya bukanlah solusi. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus bergerak. Hati kecilku terus bergejolak.
Tanpa sepengetahuan suamiku, aku ikut kursus memasak yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas online. Tekatku sudah bulat, aku harus bisa merebut kembali hati suamiku. Ternyata bukan hal mudah untuk bisa membuat masakan yang enak sebagaimana buatan ibu mertuaku. Namun aku tak menyerah, demi bisa merebut hati suamiku, aku rela berlama-lama praktek di dapur.
Berminggu-minggu lamanya aku relakan waktuku untuk menciptakan masakan yang tidak hanya enak, tapi juga menggugah selera ketika dilihat. Bukan hal mudah memang, bahkan berkali-kali aku harus merelakan kulit tubuhku terkena panasnya cabe, tanganku teriris, bahkan terciprat minyak panas. Namun semua kesakitan itu terasa lenyap manakala aku berhasil menyajikan masakan yang sangat luar biasa nikmat.
“Kamu tidak usah repot-repot memasak, karena aku sudah memasak makanan kesukaan Azzam. Lagian mubazir kan, kalau makanannya tidak ada yang makan,”ucap ibu dengan ekspresi mengejek ketika melihatku tengah asyik mengolah masakan.
“Oh tidak apa-apa, Bu. Kalau mas Azzam tidak suka, aku akan memakan sendiri masakanku,”jawabku sambil terus mengaduk-aduk masakanku.
 Kulihat dia berlalu dari hadapanku. Kuhempaskan nafas perlahan untuk melepas kejengkelan akibat hinaanya terhadap masakanku. Perlahan kucoba mencicipi hasil masakanku, “hem.. nikmat sekali, mudah-mudahan mas Azzam suka,”seruku girang ketika melihat usahaku sukses.
Suasana pagi yang cerah semakin bertambah indah manakala kulihat mas Azzam tampak lahap menyantap hasil olahan tanganku. Kulihat ada kecewa dalam raut wajah ibu, manakala mas Azzam memuji masakanku.
“Istriku sudah mulai pandai memasak ya, pasti ini karena belajar dari ibu. Iyakan bu,”kata mas Azzam dengan senyum mengembang.
Aku hanya tersenyum seraya mengiyakan perkataan suamiku. Kulihat ada setitik kecemburuan diwajah ibu manakala suamiku tak hentinya memujiku. Pelukan dan ciuman hangat bersarang dikeningku, sejenak aku merasakan kebahagiaan itu kembali.
Melihatku semakin lihai mengolah masakan, ibu yang awalnya berusaha mengalahkanku justru mengendur. Tak ada lagi persaingan di dapur, dan tak ada lagi pandangan mengejek ketika masakanku terhidang di meja.
“Silahkan dicicipi masakan buatanku, Bu,”kataku seraya menyajikan masakan di meja makan.
Ibu mengambil sendok, perlahan dia mengambil kuah dan mencicipinya. “enak, ternyata kamu sudah pandai memasak ya,”untuk pertama kali kudengar dia memujiku.
“Ah, aku masih harus banyak belajar dari ibu untuk membuat masakan yang enak,”jawabku berusaha membesarkan hatinya.
“Maafkan sikap ibu selama ini ya,”ucapnya tiba-tiba.
Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Dari pengakuan ibu aku tahu bahwa apa yang kurasakan selama ini memang benar akibat kecemburuan ibu padaku. Ibu tak ingin kehadiranku dapat mengalihkan perhatian Azzam terhadapnya.
“Ibu minta, jangan jauhkan aku dari anak ibu ya!”pintanya penuh harap.
“Astaghfirullah Ibu, In Sya Allah tidak ada yang dapat memisahkan kita kecuali kematian,”jawabku coba menghibur kegalauan dihatinya.
Kulihat senyum mengembang diwajahnya. Aku bisa bernafas lega setelah mendengar kejujurannya. Kasih sayangnya yang terlalu besar pada anaknya membuatnya khawatir berlebihan padaku. Dia terlalu takut kalau cinta mas Azzam padaku dapat mengalahkan rasa sayang kepadanya. Kejujurannya membuatku semakin mengerti bagaimana cara menyikapinya.
Sejak saat itu, ibu menjadi partner terbaikku dalam memanjakan suamiku. Tak ada rasa cemburu ataupun iri di hatiku manakala suamiku memuji ibunya. Sebaliknya, ibu juga tak keberatan ketika suamiku memilih menghabiskan hari-harinya bersamaku untuk berbulan madu. Akhirnya impianku memiliki keluarga yang rukun bahagia dapat terwujud sempurna.
Loading...
Previous
Next Post »