Foto/Tribun.news |
Mak Ijah, begitulah orang kampung biasa menyebutnya. Dia bukanlah Artis atau Pejabat, tapi dia hanyalah Nenek renta yang hidup sebatang kara dan menggantungkan hidup dengan berprofesi sebagai pemulung. Setiap dini hari dan sore tiba, dia berjalan keliling kampung dari satu tong sampah menuju ke tong sampah lainnya. Mengumpulkan besi, kemasan mineral, kertas, plastik, dan sampah apa saja yang bisa dijual.
Di samping rumahnya yang tidak terlalu besar, dia menyimpan sampah-sampah daur ulang tersebut hingga jumlah yang cukup untuk dijual kembali kepada pengepul. Kesan kumuh langsung terasa ketika masyarakat melintas di sekitar rumahnya. Beberapa tetangganya yang kaya merasa risih dan mencoba menegur dan melarang aktivitas Mak Ijah. Namun dengan bijak Mak Ijah menjawab, “Aku masih butuh makan, kalau aku tidak bekerja, memangnya kamu mau menanggung hidupku?”
Diam, tidak ada satupun yang mampu menjawab. Namun kediaman mereka bukan berarti menerima, beberapa tetangganya mencoba mendatangi pengurus kampung agar mau menasihati Mak Ijah untuk tidak menimbum sampah di rumahnya. Tak butuh waktu lama, pengurus kampungpun mendatangi rumah Mak Ijah. Setelah basa-basi sebentar, mereka mengutarakan maksud kedatangannya.
Mak Ijah tersenyum kecut seraya terus membersihkan gelas mineral dari plastik yang menempel. Perlahan dia mulai menjawab perkataan pengurus kampung, “Saya memang sudah tua, tapi saya tidak mau menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain atau mengemis. Selain itu, saya masih ingin bisa memberi sedikit rejeki pada anak-anak yatim dan terlantar itu”. Memang, saya tahu sendiri kalau Mak Ijah sangat loyal kepada beberapa anak yatim dan terlantar di sekitar rumahnya. Bahkan dia tak segan memberikan pinjaman uang kepada beberapa tetangganya yang kurang mampu.
Kepada pengurus kampung tersebut, Mak Ijah berpesan agar semua warga kampung agar tidak perlu mengajarinya, karena menurutnya pekerjaannya sudah halal, tidak mencuri atau korupsi. Lagi-lagi Pengurus kampung tidak mampu menjawab sepatah katapun. Dalam hatinya dia membenarkan, betapa banyak orang dengan usia muda dan kuat justru memilih pekerjaan memalukan, seperti : mengemis, mencopet, dan pekerjaan haram lainnya. Tapi Mak Ijah, di usianya yang sudah sangat renta, yakni sekitar 85 tahun, dia masih semangat untuk mengais rejeki halal. Satu lagi pelajaran yang bisa saya ambil dari Mak Ijah adalah dia selalu mengingat kebaikan orang lain.
Saya sempat terharu ketika seusai melahirkan, dia datang ke rumah menjenguk seraya memberikan amplop berisi sejumlah uang. Dengan sopan saya berusaha menolaknya dan meminta agar uang tersebut disimpan saja. Dia tetap menolak dan meminta saya menerimanya, “kamu biasa memberi barang bekas kepada saya, kapan lagi saya bisa ganti memberi,”. Memang, setiap kali ada peralatan rumah tangga yang rusak/tidak terpakai, saya selalu meminta anak-anak mengantarkan kerumahnya. Saya pikir daripada memenuhi tempat sampah, kenapa tidak diberikan pada Mak Ijah saja. Ternyata hal itu dianggap Mak Ijah sebagai kebaikan yang terus diingatnya.
Loading...