Kesabaran Menantu yang Tidak Diakui Mertuanya

Aku menyadari bahwa tak ada keistimewaan yang bisa kubanggakan dihadapan mertuaku yang kaya raya, namun bukan berarti aku tak berhak merasakan kebahagiaan bersama suami yang begitu kucintai. Berawal dari pertemuan saat ia menjalani penelitian di desaku, kemudian Mas Nizam berhasil menaklukkan hatiku dan memboyongku ke gerbang pernikahan. Impianku  menikah dengan pangeran impian telah terwujud.
Hampir setengah tahun kami menetap di desa, karena Mas Nizam masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Namun setelah semuanya selesai, akupun harus siap berpisah jauh dengan keluargaku, karena mas Nizam akan memboyongku ke istana cinta yang akan menjadi tempat terindah bagi kami.
Aku sangat takjub ketika mobil kami berhenti didepan sebuah rumah yang cukup megah, benarkah mas Nizam akan mengajaknya tinggal ditempat semegah ini? pikirku.
Belum habis rasa penasaranku, tiba-tiba Nizam membuka pintu mobil dan mempersilakan aku turun, “kita sudah sampai nih. Ayo turun, sayang.”
Aku merasa kikuk dan tidak nyaman ketika memasuki rumah yang menurutku sangat indah dan megah ini. Tak lama kemudian, keluar dua orang perempuan setengah baya yang membantu mengangkat barang bawaan mereka ke dalam kamar.
Rumah keluarga Nizam memang cukup besar dan megah, namun rumah tersebut ditinggali oleh empat keluarga, yakni kedua orang tuanya, kedua kakaknya yang sudah berkeluarga, dan dirinya. Bangunan rumah memang sengaja dibuat menghadap kearah yang berlawanan sehingga masing-masing keluarga anaknya menempati bagiannya masing-masing.
Menurut cerita yang kudengar dari suamiku, orang tuanya tidak pernah suka melihat anak-anaknya tinggal berjauhan satu sama lain. Mereka ingin selalu dekat dengan anak dan juga cucu-cucunya.  Sebelum masuk ke dalam kamar, Nizam mengajakku menemui kedua orang tuanya yang berada di rumahnya.
Aku berusaha bersikap semanis mungkin pada keluarga Nizam yang tengah berkumpul di rumah orang tuanya. Namun, perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh dari sikap keluarga besar Nizam kepadanya. Entahlah, aku sendiri belum bisa mengartikannya.
“Kenapa Nay?”tanya suaminya saat melihatku melamun.
“Enggak ada apa-apa kok, Mas,”ucapku sambil beranjak dari kursi, “Oiya, besok mas jadi ke Bandung untuk menemui klien kan?”
“Iya, kamu nggak apa-apa kan kutinggal sendirian? Soalnya besok aku pulangnya agak malam,”jawabnya seraya menunggu jawabanku.
Aku menganguk sambil tersenyum manja, “iya nggak papa kali Mas.”
                                                                            ***
Dari jendela yang sedikit terbuka, aku bisa mendengar dengan jelas obrolan dua orang pembantu keluarga suaminya.
“Istrinya Mas Nizam cantik juga ya?” kata Bik Inah
“Cantik apanya? Cantikan juga Mbak Fira,”sahut Mbak Lina
“Iya juga ya, tapi herannya kok Mas Nizam bisa milih gadis itu jadi istrinya, kenapa bukan Mbak Fira?”Bik Inah menimpali.
“Mungkin benar kata ibu, Mas Nizam diguna-guna sama perempuan itu,”ucap Mbak Lina agak mengecilkan suaranya.
Meskipun tidak terlalu jelas terdengar, namun hatiku cukup terluka. Misteri dibalik kesinisan orang tua suamiku sedikit terkuak. Tapi siapa Fira? Pacar Mas Nizam atau, ah… aku tidak mau suudzon.
Tok..tok..
Nayla bergegas menuju ke ruang depan untuk membukakan pintu,
“Permisi, Bu. Saya mau membersihkan rumah, “kata Mbak Lina sopan.
Aku segera mempersilakan Mbak Lina masuk. Dari obrolan kami, aku bisa tahu bahwa mbak Lina sudah lima tahun mengabdi pada keluarga mas Nizam. Meskipun agak ragu, akhirnya aku coba memberanikan diri bertanya tentang Fira kepada Mbak Lina.
Mbak Lina terlihat antusias saat menceritakan tentang Fira, menurutnya Fira adalah perempuan yang sangat cantik, baik, dan menarik. Mbak Lina yang lugu tidak menyadari jika apa yang dia ceritakan sangat melukai hati kecilku yang terdalam. Namun begitu, aku terus berusaha mengorek keterangan tentang keluarga mas Nizam.
Aku semakin mengerti siapa Fira. Dia adalah gadis yang sudah dipilihkan mertuanya untuk menjadi istri suaminya. Ada sedikit kekecewaan dihatiku atas ketidakjujuran Mas Nizam tentang masa lalunya, meski begitu aku berusaha menyimpan rapat-rapat rasa sakit dan perih yang menyayat kalbu.
Malam hari ketika suamiku pulang, aku berusaha bersikap seperti tak pernah mengetahui sesuatu tentang masa lalunya. Namun sekuat apapun aku berusaha menyimpan bara, toh suamiku berhasil mencium ketidakberesan dalam sikap dan perilakuku.
“Kamu kenapa sayang?”tanya suami terlihat cemas.
“Aku baik-baik saja,”jawabku dengan senyum semanis mungkin agar dia tidak curiga.
“Nay, aku ini suami kamu. Jangan pernah ada rahasia diantara kita, aku mau kita saling terbuka,”kata Mas Nizam seraya merengkuh bahuku agar mendekat padanya.
“Tidak ada sesuatupun yang kusembunyikan, nggak tahu dengan Mas?”kataku dengan nada menggantung.
“Maksudnya apa ini, aku tidak menyembunyikan sesuatu dari kamu, sayang,”jawab suamiku tenang.
Meski hati kecilku terus memaksa untuk segera mengonfirmasi tentang hubungan mas Nizam dengan Fira, namun mulutku terasa kelu dan tak mampu mengucap sepatah katapun. Curiga dengan gerak tubuhku, suamiku kemudian mendesak agar aku mengatakan masalah apapun yang membuatku tidak nyaman. Setelah terdesak dan tak mampu lagi mengelak, akupun terpaksa menyebut tentang Fira.
Suamiku terdiam untuk beberapa saat lamanya, “Aku tahu, cepat atau lambat kamu pasti akan mendengar tentang Fira,” katanya seraya menghela nafas panjang.
Aku mendengar dengan s3ksama pengakuan jujur suamiku tentang Fira. Ternyata sebelum kenal denganku, keluarga besar mas Nizam sepakat meminang Fira sebagai istri suamiku, “Jadi keberadaanku telah menyakiti hati banyak orang?”
“Enggak Nay, aku tidak pernah mencintai Fira,”ujar mas Nizam berusaha meyakinkanku.
“Tapi itu sekarang setelah mas mengenalku, sebelumnya mas pasti juga mencintai Fira?”ujarku dengan mimik merasa bersalah.
Suamiku berusaha meyakinkanku bahwa dia tidak pernah menyimpan rasa cinta untuk Fira, bahkan berkali-kali ia menolak perjodohan itu. “Aku tahu, ini pasti berat untukmu, Nay. Maafkan aku telah melibatkanmu dalam masalah ini,”bisiknya lembut ditelinga Nayla.
Kejujuran membuat hubungan kami semakin dekat dan kuat, kondisi itu membuat keluarga mas Nizam berang. Berbagai cara dilakukan agar aku tidak betah tinggal dirumah itu, namun ingat nasihat suamiku yang memintaku untuk bersabar dan menahan diri. Ingat! Semua harus kita lakukan demi janji suci pernikahan yang sudah kita ucapkan dihadapan Allah.
Sore ini, suamiku sengaja pulang lebih awal untuk memberikan kejutan dihari ulang tahun pernikahan kami. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati aku tengah mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, “Apa-apaan ini, kenapa kamu mengerjakan semuanya sendiri, sayang?”
Aku tidak bisa berkata apapun, karena suamiku sudah melihat sendiri,”ehm.. aku sengaja melakukannya sendiri, mas,”jawabku coba  menutupi kenyataan.
“Nay, jujur sama mas. Sejak kapan kamu melakukan semuanya sendiri?”kata suamiku dengan nada tinggi.
Berbohongpun rasanya percuma karena dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri,”sudahlah, Mas. nggak usah membesar-besarkan masalah, toh aku juga tidak kerepotan,”ucapku coba menenangkan.
Awalnya mas Nizam merasa geram, namun kelembutanku berhasil membuatnya melunak, “ya sudah cepetan bersiap, aku ada kejutan buat kamu,”bisiknya penuh arti.
“Oh ya, aku juga ada kejutan buat kamu, Mas,”sahutku tak mau kalah dengan suaminya, dan merekapun tertawa lepas.
Tak lama kemudian mobil merekapun melaju menembus keramaian kota yang cukup macet. Setelah setengah jam, merekapun sampai ke tempat tujuan, “Nah, sekarang tutup mata kamu ya, aku akan menuntunmu ke sebuah tempat yang sangat indah,”bisiknya lembut ditelingaku.
Akupun mengikuti petunjuk lelaki yang selalu memenuhi hariku dengan cinta, dengan penuh cinta dia menuntunku menuju sebuah ruangan. Perlahan kubuka penutup mata, aku benar-benar terpana melihat keindahan yang terpampang didepanku. Sungguh aku tak menyangka, ternyata suamiku begitu romantis. Demi menyambut ulang tahun pernikahan kami, dia rela memesan tempat khusus untuk kami berdua,”Sayang, makasih banyak ya, tempat ini sangat indah dan romantis,” kataku takjub.
“Oiya, sebenarnya aku tidak punya kado special buat kamu, karena bagiku tidak ada yang lebih special dibandingkan keberadaan kamu disisiku,”Mas Nizam mulai melancarkan kata-kata romantis yang membuatku merasa tersanjung. “Nah, sekarang aku mau tahu apa kejutan darimu untukku?”lanjutnya mendesakku.
“Aku sendiri tidak tahu apakah kado ini special atau tidak buat kamu, Mas. Tapi yang pasti, aku sangat bahagia atas kehadirannya ditengah-tengah kebahagiaan ini,”bisik Nayla manja.
“Kehadirannya? Maksudmu kamu hamil, sayang? Iya, kamu beneran hamil?”desak mas Nizam antusias dan aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Subhanallah, alhamdulillah.. terima kasih sayang, Ya Allah terima kasih sudah menitipkan amanahmu di rahim istriku,”teriak suamiku seraya memeluk erat tubuhku.
Atas permintaanku, mas Nizam tidak menceritakan kehamilanku kepada keluarganya. Sebenarnya bukan tidak ingin berbagi kebahagiaan, hanya saja menurutku masih terlalu dini untuk memberitahukannya. Lagipula aku sadar kalau keluarga besar mas Nizam masih belum sepenuhnya menerimaku, jadi biarlah menjadi kejutan buat mereka.
Hari-hari berat kujalani selama kehamilanku, karena aku melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Pembantu yang sudah dipesan suamiku untuk melayaniku selama ia bertugas ke luar kota, justru memilih menuruti perintah mertuanya. Dalam lelah yang terus bertambah-tambah, aku mencoba bersabar.
Pagi itu, aku merasakan pusing yang luar biasa hebat hingga membuat tubuhku limbung. Ketika sadar, aku mendapati tubuhku tengah terbaring diruangan yang asing bagiku. Selang infus menancap di pergelangan tanganku. Kulihat raut cemas diwajah suamiku yang terus menggenggam tanganku. Dibelakangnya kulihat mertua, dan saudara-saudara suamiku nampak ketakutan.
“Mas, kapan kamu pulang?”tanyaku sesaat setelah sadar.
“Tidak perlu ditanyakan, yang ingin mas tahu, apa yang sedang kamu lakukan sehingga kamu bisa pingsan di kamar mandi?”tanya suamiku.
Perlahan kucoba mengingat semua kejadian sebelum akhirnya aku berada di Rumah Sakit,”aku.. aku mau mandi, tiba-tiba aku tidak ingat semuanya,”jawabku coba menutupi semuanya. Padahal waktu itu aku hendak menguras dan membersihkan kamar mandi.
“Oh ya sudah, untung ayah dan ibu segera membawamu ke Rumah sakit,”kata suamiku seraya mengelus lembut perutku.
“Makasih banyak, bu, yah. Maaf jika Nayla sudah merepotkan kalian,”ucapku kikuk.
“Iya, sama-sama. Kami juga minta maaf atas sikap kami selama ini padamu, Nay,”ucap ibu penuh penyesalan. “Tapi kami tersinggung dengan sikap kalian, kenapa harus merahasiakan berita bahagia ini pada kami,”ucap ibu mertua sewot.
“Iya nih, kamu ini jahat sudah menyembunyikan calon ponakanku yang sudah ada dalam perut istrimu,”sahut kakak-kakaknya sembari ikut mengelus lembut perutku.
Semua keluarga nampak tertawa melihat ekspresi ibu dan kakak-kakaknya yang lucu. Aku dan mas Nizam saling berpandangan mesra. Sungguh, aku tak bisa menggambarkan betapa besarnya kebahagiaan yang tengah kurasakan saat ini. Rasa syukur terus terucap atas limpahan nikmat yang selama ini hanya mampu kubayangkan.
Loading...
Previous
Next Post »