Jika ingin menyongsong masa depan, maka jangan sering menoleh ke masa lalu. Demikian kira-kira nasihat yang saya degar dari beberapa sahabat dan orang tua. Aku berharap agar bisa melupakan masa-masa itu, dimana peristiwa besar hampir saja merenggut kehormatanku.
Pacar yang selama ini sangat kucintai, ternyata tega hendak menodaiku. Kejadian itu berlangsung ketika aku menghadiri party di sebuah café. Rencana busuk tertanam dibenaknya sehingga ia tega meracuniku dengan obat tidur, beruntung sekali aksi jahatnya berhasil dibatalkan oleh kakakku yang sengaja menjemputku.
Sebelum kejadian itu, aku tidak pernah menganggap penting kewajiban menutup aurat sehingga gaya berpakaianku hampir bisa dikatakan cukup menggoda. Teguran dan amarah orang tuaku hampir tak pernah kuhiraukan karena bagiku mereka terlalu kuno dan menyebalkan. Namun setelah kejadian itu, aku baru menyadari betapa berharganya tubuh perempuan sehingga layak kalau agamaku sangat memuliakannya.
Kejadian pahit itu membuat bertekat merubah penampilanku. Beberapa teman yang mengenalku sebagai gadis liar terlihat bertanya-tanya dan tak jarang mencibirku. “ada apa ya?” “mungkin dia frustasi atau memang tobat?” “ah percuma saja berjilbab kalau kelakuannya bejat” beragam pertanyaan atau ejekan yang muncul kucoba sikapi dengan santai. Kukatakan pada mereka bahwa ini merupakan panggilan hati dan tidak ada kaitannya dengan apapun.
Sejak bermetamorfosa, aku mengalami beberapa keajaiban yang sungguh tak pernah kuduga sebelumnya. Jika sebelumnya aku mengenal beberapa pemuda yang siap mengajakku bersenang-senang, maka sebaliknya kini justru ada seorang pemuda yang siap menggandengku naik ke pelaminan.
Proses ta’aruf berjalan dengan lancar, aku baru tahu kalau ternyata lelaki tersebut merupakan pilihan orang tuaku. Hatiku sangat berbunga-bunga karena tak lama lagi statusku segera berubah menjadi seorang istri. Subhanallah, aku merasa rahmat Allah begitu dekat apabila kita sungguh-sungguh menggapainya.
Selepas pesta pernikahan selesai digelar, kamipun mulai melangkahkan kaki sebagai pasangan suami istri. Di awal-awal tahun pernikahan semua nampak indah. Menurutku, suamiku adalah lelaki penyayang yang sangat memahamiku. Bunga-bunga cinta terus bertumbuh mekar dan mewangi menaungi rindangnya bahtera rumah tanggaku.
Namun seiring berjalannya waktu, beberapa masalah mulai bermunculan. Sebenarnya bukan masalah besar sich, namun karena sifat kekanak-anakanku yang seringkali muncul dan tak mampu kukendalikan. Aku menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung. Awalnya mas Fahri sabar dengan perubahan sikapku, lama-lama dia nampak jenuh dan putus asa menghadapiku.
Suatu hari, aku mendengar kakak perempuan Mas Fahri menasihatiku agar tidak terlalu manja dan bersikap seenaknya sendiri pada suamiku. Aku berusaha menyangkal dengan mengatakan bahwa aku tak seperti yang dituduhkan sang kakak. Namun dia mengaku kalau suamiku sendiri yang sudah mencurahkan semuanya kepadanya.
Aku tidak mampu lagi menahan amarah yang sudah kupendam seharian, sepulang dari kantor, aku langsung memaki-maki Mas Fahri tanpa ampun. “Dasar lelaki mulut ember! Kenapa harus menjelek-jelekan aku pada saudaramu? Kalau kamu nggak ikhlas melayaniku, ya sudahlah!”kataku sengit.
Suamiku tampak bingung melihat amarahku yang meledak-ledak,“Dengarkan aku ya! pantang bagiku membuka aib keluarga kita pada orang lain, meskipun kepada saudaraku,”jawab Mas Fahri tegas.
Aku tetap tak percaya, karena faktanya si kakak sudah melabrakku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Adu mulut tak bisa dihindarkan, aku tetap pada pendirianku, sedang dia tak pernah rela menerima tuduhanku. Sifat kami yang sama-sama keras justru membuat masalah semakin runcing.
Benar atau salah, aku harus menang. Itulah sifat dasar yang membuatku tak mau sedikitpun mengalah apalagi mengakui kesalahanku. Sedang dia kuanggap sebagai lelaki yang sok bijak karena hampir setiap kali tak pernah bosan menasihatiku. Kalau sudah begitu, aku semakin sebel dan ingin jauh darinya.
Sebenarnya aku tahu bahwa istri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa ijin suami. Tapi suatu ketika kala emosi mencapai ubun-ubun, akupun memilih pergi kerumah orang tuaku ketika suamiku tengah berada di kantor. Sesampainya disana, aku segera mencurahkan semua keluh kesahku pada mereka. Bukannya mendukungku, mereka justru menyalahkan tindakanku.
“Nak, ayah tahu sifat kamu memang sangat keras kepala. Cobalah untuk bersabar sedikit dalam menghadapi masalah,”ujar ayahku ketika aku coba mencurahkan perasaanku.
“Iya nih, sebagai istri harusnya kamu bisa memahami suamimu. Lihat ibumu ini,”ibu ikut-ikutan menyalahkanku.
Awalnya aku berharap pembelaan dari kedua orang tuaku. Nyatanya aku salah, mereka justru menyalahkanku dan memintaku menjadi istri yang lebih baik lagi. “Meskipun mereka tidak membenarkanku, bukan berarti aku mau mengalah sama Mas Fahri, enak aja!”cibirku.
Secuek apapun aku padanya, sikapnya tak pernah berubah. Seperti sore itu, dia memilih menjemputku sepulang kantor. Padahal aku sudah minta agar dia tidak usah repot-repot menjemputku.
“Kenapa sih mas harus repot-repot menjemputku?”tanyaku dengan muka cemberut.
“Iya dong, kamu kan istriku,”jawabnya coba menggodaku.
Bukannya senang dengan jawabannya, aku justru semakin kesel dibuatnya. Kupalingkan mukaku keluar jendela. Dengan sabar, dia tetap menggodaku dengan untaian kata rayuan. Entah kenapa aku justru semakin mual dan ingin muntah mendengarnya.
Melihat wajahku nampak pucat, diapun terlihat cemas. Segera dia larikan aku ke dokter langganan kami. Setelah memeriksa kondisiku, dokter terlihat senyum-senyum dihadapan kami.
“Selamat ya, Pak, Bu. Sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua baru,”ujarnya dengan nada riang.
Aku hanya bisa ternganga mendengar penjelasan dokter. Hamil? Bagaimana mungkin, secara aku melakukannya dengan setengah hati,”pikirku seraya melirik kearahnya yang nampak bahagia.
Sepulang dari dokter, dia nampak begitu berhati-hati memperlakukanku. Sepertinya dia tidak ingin membuatku jengkel atau marah. “Jaga anak kita baik-baik ya, sayang. Karena aku sangat membutuhkan kalian!”ujarnya seraya mengelus perutku yang masih terlihat rata.
Hari-hari kurasakan semakin berat. Sepertinya ini akibat kehamilanku yang masih berusia muda. Meskipun demikian, aku cukup terhibur dengan perlakuan Mas Fahri yang sangat istimewa padaku. Dia menjadi lebih sabar dan telaten melayani permintaanku. Tak mau menyia-siakan kesempatan itu, akupun berusaha mengujinya dengan tingkah lakuku yang aneh dan merepotkan. Namun dengan penuh cinta dan sayangnya, dia berusaha menuruti kemauanku.
Mendadak ada rasa iba dan rasa bersalah di hatiku melihat perlakuannya padaku. Dia begitu baik dan sempurna bagiku, namun aku tak pernah mensyukurinya. Padahal kalau mau berkaca, betapa buruknya masa laluku dan tidak layaknya aku mendampingi lelaki terbaik seperti mas Fahri.
“Mas, maafkan atas sikap burukku selama ini ya!”ujarku ketika dia tengah memijat lembut kedua kakiku. Dia hanya tersenyum seraya membelai lembut rambutku yang sengaja kusandarkan dibahunya. “Mas sudah maafkan semuanya kok. Kita mulai semuanya dari awal ya!” ujarnya seraya menggenggam erat tanganku.
Aku dan dia sengaja menghabiskan malam ini dengan canda dan tawa riang seperti dulu pertama kali kami menikah. Aku merasakan munculnya desiran hebat manakala dia menceritakan tentang masa lalunya yang indah bersama teman-temannya. Desiran itu semakin kuat manakala dia memintaku menceritakan masa lalu yang memang belum dan tak akan pernah coba kubuka.
“Maafkan aku, Mas. Sepertinya, tak ada yang indah dari masa laluku yang patut kuceritakan padamu. Bagaimana kalau kita membahas tentang masa depan kita saja,”tawarku mencoba membungkus rapat kenangan pahit masa silam.
Beruntung sekali dia tak memaksaku membongkar sisi kelam masa laluku, sehingga aku bisa sedikit bernafas lega. Kadang aku berpikir, entah sampai kapan aku bisa menutupi semua cerita masa laluku darinya. Terbuka mengakui dosa-dosa masa laluku padanya juga bukan jalan terbaik yang menjamin langgengnya pernikahan kami. Harapa dan doaku hanya satu, semoga saja Allah SWT bersedia menutup setiap jengkal masa laluku yang berkubang dalam dosa dan kemaksiatan. Amin.
Sebelum kejadian itu, aku tidak pernah menganggap penting kewajiban menutup aurat sehingga gaya berpakaianku hampir bisa dikatakan cukup menggoda. Teguran dan amarah orang tuaku hampir tak pernah kuhiraukan karena bagiku mereka terlalu kuno dan menyebalkan. Namun setelah kejadian itu, aku baru menyadari betapa berharganya tubuh perempuan sehingga layak kalau agamaku sangat memuliakannya.
Kejadian pahit itu membuat bertekat merubah penampilanku. Beberapa teman yang mengenalku sebagai gadis liar terlihat bertanya-tanya dan tak jarang mencibirku. “ada apa ya?” “mungkin dia frustasi atau memang tobat?” “ah percuma saja berjilbab kalau kelakuannya bejat” beragam pertanyaan atau ejekan yang muncul kucoba sikapi dengan santai. Kukatakan pada mereka bahwa ini merupakan panggilan hati dan tidak ada kaitannya dengan apapun.
Sejak bermetamorfosa, aku mengalami beberapa keajaiban yang sungguh tak pernah kuduga sebelumnya. Jika sebelumnya aku mengenal beberapa pemuda yang siap mengajakku bersenang-senang, maka sebaliknya kini justru ada seorang pemuda yang siap menggandengku naik ke pelaminan.
Proses ta’aruf berjalan dengan lancar, aku baru tahu kalau ternyata lelaki tersebut merupakan pilihan orang tuaku. Hatiku sangat berbunga-bunga karena tak lama lagi statusku segera berubah menjadi seorang istri. Subhanallah, aku merasa rahmat Allah begitu dekat apabila kita sungguh-sungguh menggapainya.
Selepas pesta pernikahan selesai digelar, kamipun mulai melangkahkan kaki sebagai pasangan suami istri. Di awal-awal tahun pernikahan semua nampak indah. Menurutku, suamiku adalah lelaki penyayang yang sangat memahamiku. Bunga-bunga cinta terus bertumbuh mekar dan mewangi menaungi rindangnya bahtera rumah tanggaku.
Namun seiring berjalannya waktu, beberapa masalah mulai bermunculan. Sebenarnya bukan masalah besar sich, namun karena sifat kekanak-anakanku yang seringkali muncul dan tak mampu kukendalikan. Aku menjadi sangat sensitif dan mudah tersinggung. Awalnya mas Fahri sabar dengan perubahan sikapku, lama-lama dia nampak jenuh dan putus asa menghadapiku.
Suatu hari, aku mendengar kakak perempuan Mas Fahri menasihatiku agar tidak terlalu manja dan bersikap seenaknya sendiri pada suamiku. Aku berusaha menyangkal dengan mengatakan bahwa aku tak seperti yang dituduhkan sang kakak. Namun dia mengaku kalau suamiku sendiri yang sudah mencurahkan semuanya kepadanya.
Aku tidak mampu lagi menahan amarah yang sudah kupendam seharian, sepulang dari kantor, aku langsung memaki-maki Mas Fahri tanpa ampun. “Dasar lelaki mulut ember! Kenapa harus menjelek-jelekan aku pada saudaramu? Kalau kamu nggak ikhlas melayaniku, ya sudahlah!”kataku sengit.
Suamiku tampak bingung melihat amarahku yang meledak-ledak,“Dengarkan aku ya! pantang bagiku membuka aib keluarga kita pada orang lain, meskipun kepada saudaraku,”jawab Mas Fahri tegas.
Aku tetap tak percaya, karena faktanya si kakak sudah melabrakku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Adu mulut tak bisa dihindarkan, aku tetap pada pendirianku, sedang dia tak pernah rela menerima tuduhanku. Sifat kami yang sama-sama keras justru membuat masalah semakin runcing.
Benar atau salah, aku harus menang. Itulah sifat dasar yang membuatku tak mau sedikitpun mengalah apalagi mengakui kesalahanku. Sedang dia kuanggap sebagai lelaki yang sok bijak karena hampir setiap kali tak pernah bosan menasihatiku. Kalau sudah begitu, aku semakin sebel dan ingin jauh darinya.
Sebenarnya aku tahu bahwa istri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa ijin suami. Tapi suatu ketika kala emosi mencapai ubun-ubun, akupun memilih pergi kerumah orang tuaku ketika suamiku tengah berada di kantor. Sesampainya disana, aku segera mencurahkan semua keluh kesahku pada mereka. Bukannya mendukungku, mereka justru menyalahkan tindakanku.
“Nak, ayah tahu sifat kamu memang sangat keras kepala. Cobalah untuk bersabar sedikit dalam menghadapi masalah,”ujar ayahku ketika aku coba mencurahkan perasaanku.
“Iya nih, sebagai istri harusnya kamu bisa memahami suamimu. Lihat ibumu ini,”ibu ikut-ikutan menyalahkanku.
Awalnya aku berharap pembelaan dari kedua orang tuaku. Nyatanya aku salah, mereka justru menyalahkanku dan memintaku menjadi istri yang lebih baik lagi. “Meskipun mereka tidak membenarkanku, bukan berarti aku mau mengalah sama Mas Fahri, enak aja!”cibirku.
Secuek apapun aku padanya, sikapnya tak pernah berubah. Seperti sore itu, dia memilih menjemputku sepulang kantor. Padahal aku sudah minta agar dia tidak usah repot-repot menjemputku.
“Kenapa sih mas harus repot-repot menjemputku?”tanyaku dengan muka cemberut.
“Iya dong, kamu kan istriku,”jawabnya coba menggodaku.
Bukannya senang dengan jawabannya, aku justru semakin kesel dibuatnya. Kupalingkan mukaku keluar jendela. Dengan sabar, dia tetap menggodaku dengan untaian kata rayuan. Entah kenapa aku justru semakin mual dan ingin muntah mendengarnya.
Melihat wajahku nampak pucat, diapun terlihat cemas. Segera dia larikan aku ke dokter langganan kami. Setelah memeriksa kondisiku, dokter terlihat senyum-senyum dihadapan kami.
“Selamat ya, Pak, Bu. Sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua baru,”ujarnya dengan nada riang.
Aku hanya bisa ternganga mendengar penjelasan dokter. Hamil? Bagaimana mungkin, secara aku melakukannya dengan setengah hati,”pikirku seraya melirik kearahnya yang nampak bahagia.
Sepulang dari dokter, dia nampak begitu berhati-hati memperlakukanku. Sepertinya dia tidak ingin membuatku jengkel atau marah. “Jaga anak kita baik-baik ya, sayang. Karena aku sangat membutuhkan kalian!”ujarnya seraya mengelus perutku yang masih terlihat rata.
Hari-hari kurasakan semakin berat. Sepertinya ini akibat kehamilanku yang masih berusia muda. Meskipun demikian, aku cukup terhibur dengan perlakuan Mas Fahri yang sangat istimewa padaku. Dia menjadi lebih sabar dan telaten melayani permintaanku. Tak mau menyia-siakan kesempatan itu, akupun berusaha mengujinya dengan tingkah lakuku yang aneh dan merepotkan. Namun dengan penuh cinta dan sayangnya, dia berusaha menuruti kemauanku.
Mendadak ada rasa iba dan rasa bersalah di hatiku melihat perlakuannya padaku. Dia begitu baik dan sempurna bagiku, namun aku tak pernah mensyukurinya. Padahal kalau mau berkaca, betapa buruknya masa laluku dan tidak layaknya aku mendampingi lelaki terbaik seperti mas Fahri.
“Mas, maafkan atas sikap burukku selama ini ya!”ujarku ketika dia tengah memijat lembut kedua kakiku. Dia hanya tersenyum seraya membelai lembut rambutku yang sengaja kusandarkan dibahunya. “Mas sudah maafkan semuanya kok. Kita mulai semuanya dari awal ya!” ujarnya seraya menggenggam erat tanganku.
Aku dan dia sengaja menghabiskan malam ini dengan canda dan tawa riang seperti dulu pertama kali kami menikah. Aku merasakan munculnya desiran hebat manakala dia menceritakan tentang masa lalunya yang indah bersama teman-temannya. Desiran itu semakin kuat manakala dia memintaku menceritakan masa lalu yang memang belum dan tak akan pernah coba kubuka.
“Maafkan aku, Mas. Sepertinya, tak ada yang indah dari masa laluku yang patut kuceritakan padamu. Bagaimana kalau kita membahas tentang masa depan kita saja,”tawarku mencoba membungkus rapat kenangan pahit masa silam.
Beruntung sekali dia tak memaksaku membongkar sisi kelam masa laluku, sehingga aku bisa sedikit bernafas lega. Kadang aku berpikir, entah sampai kapan aku bisa menutupi semua cerita masa laluku darinya. Terbuka mengakui dosa-dosa masa laluku padanya juga bukan jalan terbaik yang menjamin langgengnya pernikahan kami. Harapa dan doaku hanya satu, semoga saja Allah SWT bersedia menutup setiap jengkal masa laluku yang berkubang dalam dosa dan kemaksiatan. Amin.
Loading...