Penantian Panjang yang Berakhir Indah

Menjalin hubungan tak bisa dilihat berapa lama pacaran, itulah yang terjadi padaku, aku pacaran sama Edo sudah hampir 5 tahun sejak kelas 2 SMA sampai lulus.  Setelah lulus SMA aku memutuskan untuk kerja, sedang Edo kuliah di Kediri.  Hubungan kami masih berlanjut meskipun jarak memisahkan, aku bersabar meskipun harus menahan rindu karena Edo pulang ke rumah setiap satu bulan sekali, kami menggunakan handphone untuk selalu menjaga komunikasi. Hubunganku terus berlanjut sampai akhirnya dia selesai kuliah dan di wisuda.






Hubungan kami sering mengalami pasang surut karena Edo pernah jalan dengan cewek lain yang membuat hubungan kami putus di tengah jalan.  Tapi berulang kali juga Edo memintaku untuk menerima cintanya kembali.  Tidak mudah bagiku menghapus kenangan manis bersamanya, Edo adalah cinta pertamaku karena itulah hatiku mudah sekali memaafkan kekhilafannya. Tapi untuk terakhir kalinya aku melihat keseriusan Edo padaku, dia mulai memperkenalkan aku pada orang tuanya.
Setelah pertemuan pertama, Edo mengajakku untuk menjenguk ibunya yang di opname di Rumah Sakit.  Mendengar ibu Edo masuk rumah sakit membuat orang tuaku juga ikut menjenguknya.  Kedekatan antara orang tua kami terjalin sangat erat, sehingga memuluskan jalan kami menuju ke jenjang yang lebih serius.
Beberapa bulan kemudian keluarga Edo datang ke rumah untuk melamarku, aku sangat bahagia karena Edo membuktikan bahwa hanya aku yang dipilihnya,  keluarga Edo tidak mau menunggu lama karena mereka sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu dari kami. Aku mendengar para orang tua sudah  menetapkan tanggal pernikahan kami yang kurang dua bulan lagi.  Aku sangat senang sekali, akhirnya apa yang menjadi cita-citaku bersama Edo akan segera terwujud.  Yach…kami ingin membentuk keluarga kecil yang bahagia, di mana ada dua orang anak yang lucu.
Keluargaku sibuk mempersiapkan segala keperluan pesta penikahanku, mulai dari dekorasi, persiapan catering, tempat resepsi, dan lain-lain.  Aku juga mulai sibuk menulis nama-nama tamu yang akan di undang di acara pesta pernikahanku. Setelah semua beres aku dan ibu segera ke butik untuk fitting baju pengantin, dan ibu juga memilih baju-baju yang akan di pakai keluarga besar kami sebagai penerima tamu.  Kini persiapan pernikahanku sudah hampir 99% selesai, hatiku semakin berdebar-debar menunggu hari pernikahan kami.
Tibalah hari yang kami nantikan, Pesta meriah digelar oleh keluarga besarku, beberapa kerabat dan saudara berdatangan memberikan do’anya pada kami. Begitupun dengan sahabat baikku di sekolah maupun di tempat kerja, mereka menyempatkan diri untuk menghadiri undanganku.  Kami berdua bahagia karena menurut orang tuaku hanya Edo yang cocok untukku, begitupun kata keluarga Edo “Kami adalah pasangan yang paling serasi, dan bahkan menyebutku sebagai menantu yang cantik”
Setelah menikah, aku tetap bekerja sedang Edo juga bekerja.  Pertemuan kami nyaris terjadi setiap malam, dan itupun dalam keadaan sama-sama capek. Waktu aku datang ke rumah mertua, mereka selalu bertanya “Gimana Dewi, sudah siap memberikan cucu untuk ibu ?” Aku hanya tersenyum, betapa dia tak mengerti apa yang terjadi pada kami. Bagaimana mau punya anak sedangkan hampir setiap malam kami selalu terlelap dalam lelah kami, tapi aku enggan bercerita tentang masalahku pada orang lain.
“Lihat itu Disna, dia sudah punya anak sekarang”, kata ibu mertua, yang membuatku hatiku semakin pilu.  Aku coba mengalihkan perhatian ibu dengan mengajakkan membahas masalah lain, setelah itu aku permisi masuk ke kamar.  Kuhempaskan tubuhku di ranjang, pikiranku menerawang jauh mengenang kembali masa-masa indah saat kami masih pacaran.  Entahlah Edo yang dulu kukenal hangat dan romantis kini menjadi dingin sekali, kata-kata mesra yang sering menghiasai bibirnya kini tak lagi kudengar. Sebagai istri aku tak mau berprasangka buruk, “Ahh, sudahlah” tepisku saat aku memikirkan sikap Edo belakangan ini.
Setahun berlalu tanpa membuahkan hasil apapun, aku sampai bosan mendengar pertanyaan-pertanyaan tetangga, teman-teman bahkan ibu mertua yang selalu menanyakan “Kapan nih punya momongan?”, “Masa nggak kepingin punya anak?”. Sungguh…pertanyaan yang membuatku ingin menangis.  Malam ini aku coba untuk berkomunikasi pada suami tentang keinginanku untuk segera memiliki anak, dan aku beri pengertian padanya supaya lebih memperhatikan dan menyayangiku. Dengan hati-hati aku menyampaikan keinginanku untuk sama-sama periksa ke dokter, tapi dia tetap menolak.  Dokter menyatakan kandunganku sehat, bahkan dokter meminta suamiku untuk ikut diperiksa.  Aku sempat sedih mendengar penolakannya, tapi aku pasrahkan semua kepada Allah.
Aku bersyukur berkat kesabaranku, kini Edo mulai berubah, sekarang dia sangat perhatian padaku. Kehangatan yang selama ini aku rindukan telah kembali, setiap hari dia selalu meluangkan waktunya untuk bercanda tawa bersamaku.  Bahkan dia merencanakan untuk bulan madu di Villa yang sudah dia pesan tepat di hari ulang tahun pernikahan kami, kini aku menjalani hari-hari penuh kebahagiaan dan keceriaan.
                                                                    ****
Tepat dua tahun pernikahanku, aku mulai telat menstruasi lalu aku memakai testpack yang telah aku beli di apotik.
“Mas, aku positif,” kataku suatu saat mengetahui hasil testpack.
“Oyaa? Alhamdulillah sayang, ”katanya hampir tidak percaya
“Iya mas, ini lihat hasilnya,” kataku sambil menunjukkan testpack yang terlihat dua strip.
“Beneran positif, Alhamdulillah” katanya senang, memang sudah lama kami merindukan kehadiran seorang bayi.
Rasa senang terbayang dimataku, betapa bahagianya kalau ayah dan ibuku juga mertuaku tahu hal ini. “Ahh ini kejutan buat mereka,” kataku bahagia
Suamiku sudah tidak sabar memberikan kabar gembira ini pada orang tuanya dan juga orang tuaku, lalu dengan semangat membara dia mulai menelpon mereka satu persatu. “Istriku hamil, “Katanya begitu bergembira.
Semua begitu hebohnya menyambut kehamilanku, hampir setiap hari aku ditelpon sama ibu mertua bahkan ibuku, “Hati-hati ya”, “Jangan terlalu capek”.  perhatian tak habisnya mengalir dari mereka yang menyayangiku. Aku juga berusaha menjaga kehamilanku dengan banyak istirahat, mengkonsumsi makanan yang sehat dan rajin minum susu.
Tepat dua bulan, aku periksa kandungan. Dan hiks…, dokter mengatakan kalau janinku masih belum terlihat jelas, akhirnya dokter memberikan obat penguat, dan mengatakan kalau dalam waktu dua minggu aku mengeluarkan flek, berarti janinku tidak bisa dipertahankan lagi, karena memang terlalu lemah. Sedihh rasanya. 
Ternyata sebelum dua minggu aku sudah mengalami pendarahan, dan aku dilarikan ke Rumah Sakit, ternyata aku keguguran dan atas persetujuan suami aku langsung dikuret, setelah itu aku pulang ke rumah mertua.  Mereka juga ikut sedih dan menghiburku saat aku menangis.
“Sudahlah nak, sabar ya!” ibu menghiburku, aku terus menangis.
Di tengah kesedihanku, aku masih bersyukur karena masih banyak orang-orang yang menyayangi aku, mereka menghiburku dan berharap aku tabah menghadapi cobaan ini.  Puluhan SMS masuk ke HPku, banyak diantara mereka yang menyatakan duka cita atas kejadian yang menimpaku dan mereka juga memberiku kekuatan dan do’a.
Hari-hari kulalui dengan perasaan hampa, aku trauma dengan kehamilan, takut sekali mengalami hal yang sama.  Tapi aku ingin sekali mempunyai anak, melihat keponakanku yang lucu, rasanya aku sudah tidak sabar ingin hamil lagi. Setelah beberapa hari cuti kini aku kembali bekerja, berkumpul dengan para sahabat  membuatku cepat melupakan kesedihan yang menimpaku.
Aku tak berhenti berusaha untuk bisa secepatnya hamil, mulai dari konsultasi ke dokter sampai ke pengobatan alternatif.  Bahkan setiap resep herbal yang dikatakan para sahabat sudah kami coba, tapi masih tak ada tanda-tanda aku hamil.  Aku hampir putus asa, mungkin memang sudah menjadi takdirku tidak bisa memberikan keturunan untuk suamiku.
                                                                          ***
Hampir empat tahun pernikahanku, aku tak juga dikaruniahi anak.  Aku melihat suamiku seperti sudah bosan melihat usahaku, ke dokter, ke tukang pijat dan minum ramuan apapun supaya cepat hamil tapi masih tak kunjung hamil. Sampai suatu saat aku dengar kalau mertuaku juga mulai ikut bosan karena tak kunjung mendapatkan cucu.
“Istrimu itu tidak mungkin bisa hamil kalo masih kerja, suruh berhenti saja biar cepat hamil,” kata mertuaku suatu hari.
Suamiku hanya diam mendengar ibunya marah-marah, Edo sangat sayang pada ibunya sehingga dia tidak pernah membantah perkataan ibunya.
“Kamu itu jadi suami harus tegas, jangan nurut sama istri saja,” lanjutnya.  Padahal aku kerja untuk membantu suamiku yang penghasilannya pas-pasan, aku giat menabung untuk masa depan anak-anak kami nantinya.
Semakin hari, aku merasa mertuaku semakin sinis terhadapku, seolah mereka kecewa melihat keadaan kandunganku yang lemah, mereka takut kami tak bisa mendapatkan keturunan. Bahkan aku dengar kalo suamiku mau disuruh menikah lagi, seperti yang mbak Eni ceritakan padaku. Lagi-lagi aku harus bersabar menghadapi ujian berat dalam hidupku, aku berusaha tenang dan tidak terpengaruh dengan sikap ibu mertua padaku.
 “Buat apa kamu nungguin istrimu, dia memang cantik tapi kalo tidak bisa memberi keturunan, apa kamu masih mau menunggu”? katanya sinis.  Seperti biasa, suamiku hanya diam dan tak menjawab ucapan ibunya. 
Sikap ibunya yang sinis membuatku tidak betah berlama-lama berada di rumah mertua, lalu aku kembali ke rumah orang tuaku.  Melihatku tidak senang dengan ibunya membuat Edo tersinggung, tapi aku berusaha membela diri.  Pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi akibat kebencianku pada sifat ibunya, akhirnya sampai ke titik puncak dimana Edo sangat tersinggung dengan ucapanku. Akupun tidak pernah menyangka kalau Edo akan benar-benar marah padaku, padahal aku hanya bercanda.
Sampai sore aku menunggu kedatangan Edo, tapi dia tidak juga datang.  Lalu aku coba telpon ke handphonenya tapi mail box, aku sempat bingung lalu aku kirim beberapa SMS.  Setelah lama menunggu terdengar suara SMS masuk di handphone ku, betapa terkejutnya aku saat mendapati SMS dari Edo yang berisi, “Mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri, kamu bukan istriku lagi.”
Bagai tersambar petir di siang bolong, aku mengingat kembali kata-kata yang aku ucapkan. Aku tak habis pikir kenapa dengan mudahnya Edo memutuskan pernikahan kami, tak terasa air mataku menetes membasahi pipi.  Ibu terkejut saat melihatku menangis, “Kenapa kamu Dewi?” Tanya ibu yang terlihat penasaran.
Aku segera berlari dan bersujud di kaki ibu, “Maafkan aku bu, aku sudah mempermalukan ibu…..” kataku sambil menangis sesengukan.
“Ada apa ini, ayo katakan Dewi?” ibu terus mendesakku.
Aku tak mampu lagi berkata-kata, air mataku tumpah bak sungai.  Hatiku terasa pedih, kenapa Edo begitu tega mencampakkan aku?  Apa karena aku tidak bisa memberinya keturunan?” batinku terus bergolak.
Sambil terus menangis, aku menceritakan akar permasalahan yang menimpaku, aku melihat ibu ikut menangis, “Kok bisa begini Dewi, ya sudah.. kamu yang sabar ya, “ kata ibu sambil memelukku.
Hampir seminggu kami hidup terpisah, hatiku sangat rindu pada Edo.  Suatu malam, aku mencoba mengirimkan SMS pada Edo, tapi bersamaan dengan SMS yang ku kirim ke Edo, tiba-tiba ada SMS masuk yang ternyata dari Edo. “Aku kangen sama kamu”. Deg….jantungku hampir berhenti berdetak, karena aku juga mengatakan kalau aku rindu sama dia. Belum hilang rasa kagetku, tiba-tiba terdengar Hpku berbunyi, “Sayang…aku kangen sama kamu, maafkan aku ya? terdengar suara Edo di seberang sana. 
Lalu kami saling mencurahkan kerinduan kami lewat HP, setitik kebahagiaan mulai muncul saat Edo mengatakan “aku tidak bisa hidup tanpamu, ijinkan aku kembali padamu, sayang”. 
Aku tak mampu lagi menahan perasaanku, “Iya, tapi kamu janji untuk bersikap dewasa ya,” kataku sambil menangis.
Setelah musyawarah antar keluarga, akhirnya kami dipersatukan lagi dalam ikatan pernikahan. Dan kami berjanji untuk tidak saling menyakiti lagi, perpisahan ini menjadi pelajaran bagi kami untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.  Terutama Edo, sebagai laki-laki dia seharusnya bersikap dewasa dan tidak mengedepankan emosi. Begitulah nasehat yang kami terima dari kakek sekaligus penghulu yang menikahkan kami.
Keluarga Edo juga menyampaikan keinginannya agar aku keluar dari tempat kerjaku dan konsentrasi untuk memiliki momongan. Aku sempat sedih, dan berusaha mencari jalan keluar sendiri. Bimbang rasanya hatiku memilih antara “Terus bekerja atau harus berhenti untuk konsentrasi memiliki anak”. Akhirnya aku sadar bahwa dalam hidup ini memang harus ada yang dikorbankan, akhirnya aku memilih berhenti bekerja.
Setelah satu bulan aku berhenti bekerja, dokter mengatakan kalau aku positif hamil. Hatiku sangat senang rasanya, aku lebih hati-hati karena trauma dengan kehamilan yang kemarin. Setelah aku periksa ke dokter, dia mengatakan kalau janinnya ada tapi kecil banget dan aku diberi obat penguat.  Aku sempat kecewa, tapi aku yakin semua akan baik-baik saja. Saat itu mertuaku juga mendengar kehamilanku, tapi mereka terlihat biasa saja.
Menginjak 4 bulan kehamilanku, ternyata janinku tidak bisa dipertahankan dan akhirnya aku harus dikuret lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, suamiku menghiburku “Ya sudah sabar ya sayang, semua pasti ada hikmahnya, kalau dipertahankan bayi kita fisiknya tidak kuat juga, ini pilihan terbaik dari Alloh, kamu harus kuat.”
Aku memeluk erat suamiku, “Maafkan aku mas, aku tidak seperti yang kau harapkan, aku tak bisa memberimu keturunan,” kataku semakin tergugu.
Aku sempat marah dan kecewa pada Allah, karena tidak segera memberikan kepada kami seorang bayi mungil yang sangat kami rindukan. Tapi aku tetap berharap agar Allah masih mempercayai kami untuk merawat titipan-Nya.
Enam bulan kemudian Dokter menyatakan bahwa aku positif hamil untuk yang ketiga kalinya, suamiku kelihatan senang tapi aku berusaha untuk menyimpan rasa senang itu dan berusaha bersikap biasa saja, karena takut peristiwa yang lalu akan terulang lagi. Aku mengalami ngidam, mual-mual dan muntah selayaknya ibu hamil. 
Baru kali ini aku merasa seperti wanita hamil sungguhan, karena aku yang biasa suka dandan kini paling anti dengan make up. Yang tadinya tidak suka ngemil, kini jadi pengen makan terus.  Rasanya senang, tapi aku tidak mau terlalu bahagia karena rasa takut kehilangan bayiku untuk yang ketiga kalinya.
Tiga bulan telah berlalu, kehamilanku dinyatakan sehat, Alhamdulillah.  Aku dan suamiku rajin berkonsultasi ke dokter mengenai kehamilanku. Dan dokter menyarankan aku untuk banyak beristirahat karena kakiku bengkak, Edo sangat perhatian padaku, hampir setiap hari dia membawakan makanan kesukaanku. Pernah saat tengah malam aku sangat ingin makan nasi goreng, padahal dia sedang tidur dengan lelapnya, tanpa mengeluh dia langsung pergi ke tukang nasi goreng dan membelinya untukku. 
Tujuh bulan kehamilanku, keluarga mengadakan selamatan tujuh bulanan dengan mengundang ibu-ibu tetangga setempat, mereka membacakan surah Yusuf dan Maryam yang katanya agar kelak anak yang terlahir akan mempunyai wajah setampan Nabi Yusuf atau secantik Siti Maryam. Mereka juga mendo’akan agar persalinanku lancar, aku dan bayiku selamat.
Buku "Ya Allah Berikan Kami Keturunan"
Tak terasa waktu cepat berlalu, kehamilanku menginjak usia 9 bulan.  Sudah siap-siap mau lahiran. Tepat 9 bulan 9 hari air ketubanku pecah, dan aku dilarikan ke RS, setelah di induksi ternyata kepala janinku masih belum masuk ke panggul.  Lalu dokter mengatakan bahwa aku harus segera di operasi, akhirnya aku melahirkan anak perempuanku yang beratnya 3.5 kg dengan jalan Operasi caesar. Rasa bahagia memiliki anak akhirnya kurasakan juga setelah lima tahun pernikahanku.
Aku melihat binar kebahagiaan tampak jelas di mata Edo, begitupun dengan orang tuaku dan mertuaku setelah seharian dilanda kecemasan melihat keadaanku.  Tiga hari kemudian dokter mengijinkan aku pulang, keluargaku sibuk merapikan rumah untuk menyambut cucu pertama dalam keluargaku. 
Edo sibuk mendekorasi kamar Aisha, dia ingin memberikan yang terbaik buat Aisha karena sudah lama dia menginginkan kehadiran anak di kamar kami.  Sekarang impian sudah menjadi nyata, sesuai nadzar yang pernah kami ucapkan bahwa “kalau kami diberi kepercayaan oleh Allah untuk merawat titipanNya maka kami akan menyembelih sapi”.  Maka tepat di hari ke tujuh kelahiran Aisha, kami mengadakan syukuran sekaligus aqiqah untuk anak kami.
Kesabaranku berbuah manis, kini baik orang tua maupun mertuaku turut merasakan kebahagiaan yang aku rasakan.  Ya Allah, Engkau maha berkehendak, terima kasih atas karunia-Mu, Semoga Aisha menjadi anak yang Sholehah, dan membahagiakan orang tuanya, di dunia maupun di akhirat.  Amiin,” Doa yang selalu kupanjatkan.
Penantianku tak pernah sia-sia, kesabaranku telah berbuah manis. Impianku menjadi ibu telah terwujud.
Loading...
Previous
Next Post »