Baru kali ini, aku merasakan hampa yang luar biasa. Padahal, apa yang kurang dari hidupku, harta melimpah, bisnis suami mapan, anak lengkap lelaki dan perempuan, dan label mapan bisa dikatakan sudah tersemat indah pada keluargaku.
Benar yang dikatakan kebanyakan orang bahwa, adakalanya apa yang terlihat diluar tak seindah yang dalamnya. Itulah yang dialami keluargaku. Awalnya semua memang terlalu indah, hingga sedikitpun tak pernah terpikir bahwa keindahan itu akan berbalik menjadi petaka.
Keberhasilan mengantarkan anak lelakiku menjadi pengusaha sukses membuat kami terlalu PEDE akan mengulangi kesuksesan yang sama pada putriku. Tak ada yang aneh dengan putriku, dia anak yang baik, cantik, dan juga cerdas. Sebagai orang tuanya, kamipun memberikan kepercayaan penuh padanya untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Semenjak duduk di bangku kuliah, aku merasa ada yang aneh dengan putriku. Jika biasanya dia sangat cermat terhadap pengeluaran, kini dia jadi sangat boros. Dalam sebulan, aku bisa mentransfer 2-3 kali karena tidak tega melihat tabungannya yang menipis. Ketika ditanya, dia hanya menjawab bahwa tugas kuliahnya sangat padat sehingga pengeluarannya terus bertambah.
Awalnya aku sempat curiga, karena sebelumnya tidak pernah seboros ini. Namun kemudian aku berusaha menepisnya,”ah, anakku sudah dewasa, pastilah dia tahu mana yang terbaik untuknya,”pikirku.
***
Kepercayaanku mulai goyah manakala tanpa sengaja aku mendapati putriku tengah akrab dengan seorang cowok yang menurutku sangat tidak layak berteman dengan putriku. Sudah penampilannya aneh layaknya anak tidak pernah mandi, rambutnya gondrong, dan tubuhnya penuh tato. “Oh My God, apa-apaan ini?”pikirku.
Merasa murka, akupun memintanya pulang. Dihadapanku, dia nampak seperti biasa, sopan dan sok tidak tahu apa yang sudah dia lakukan.
“Siapa gembel yang bersamamu di depan kampus tadi?”bentakku tak mampu menahan diri.
Dia tampak terkejut mengetahui ibunya tahu petualangannya,”ehm, dia temanku, Bu,”jawabnya gugup.
“Teman, sejak kapan kampusmu menerima gembel kayak gitu?”bentakku dengan nada tinggi.
Dia berusaha membela mati-matian temannya, tapi aku tak peduli dan memaksanya untuk menjauh dari temannya itu.
“Pasti dia yang sudah memoroti uangmu,”kataku seraya melotot tajam kearahnya.
Dia terus menyangkal dan tidak terima aku menuduh temannya tersebut. Bahkan putriku yang dulunya sopan dan lembut justru berbalik melawanku dan berani mengataiku sembarangan. Astaghfirullah, betapa hancurnya perasaanku saat itu. Hanya gara-gara cowok yang menurutku tidak bener itu, putriku tega melontarkan kata-kata yang meyakitkan.
Aku menangis sedih. Kuadukan masalah tersebut pada suamiku yang tengah asyik berkutat dengan pekerjaannya di kantor. Dia sangat terkejut dan seperti tidak percaya dengan ceritaku. Aku sedikit lega ketika suamiku janji akan segera pulang untuk menyelesaikan masalah ini.
Aku melihat putriku mengurung diri di kamar. Mungkin dia merasa sock karena petualangannya sudah terendus olehku. Sesampainya suamiku dirumah, dia masih belum percaya dan berusaha mengkonfirmasi kebenaran ceritaku. Dengan gamblang akupun menjelaskan semuanya.
Kami berdua terdiam seribu bahasa, berusaha menemukan solusi atas permasalahan ini. Tak lama kemudian, suamiku beranjak dari kursinya,”aku akan bicara dengan Alena,”ujarnya gusar.
Aku tak berusaha mencegahnya, karena aku tahu pasti ayahnya lebih tahu apa yang harus dia lakukan. Selama ini, Alena memang lebih dekat dan akrab dengan ayahnya dibandingkan aku. Kulihat dia berjalan menuju kekamar putriku, sayup-sayup kudengar pembicaraan keduanya.
Putriku belum pernah mengenal cinta, walaupun yang aku tahu dia berkali-kali mendapat kiriman bunga ataupun cokelat dari teman-teman cowoknya. Tadinya putriku bisa dibilang sangat selektif dan tidak mau akrab dengan sembarang cowok. Karena itulah, aku dan ayahnya sangat percaya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap.
Tapi kini yang terjadi justru sebaliknya. Pilihan Alena justru jatuh pada cowok yang menurutku sangat tidak layak berada disampingnya. Kepalaku benar-benar pusing memikirkan masalah ini.
Suamiku keluar dari kamar Alena. Kulihat dia menggelengkan kepalanya, dia terlihat masih belum bisa menerima kenyataan bahwa hati putrinya sudah berlabuh pada laki-laki yang salah.
“Bagaimana, Yah?”tanyaku.
Dia terus saja menggeleng,”laki-laki itu bernama Leo, dia anak jalanan yang biasa mangkal di cafĂ© depan kampus Alena,”ujarnya berat.
Hatiku terasa diiris-iris pisau belati, “anak jalanan? Bagaimana mungkin putriku bisa dekat dengan cowok semacam itu?”pekikku.
Setelah berembug, akhirnya kami memutuskan untuk sementara waktu akan menjauhkan Alena dari cowok tersebut. Yach, kami berencana membawa Alena ke rumah Tantenya di luar kota.
Sayangnya rencana kami tercium olehnya. Pagi-pagi sekali kami mendapati kamar Alena kosong. Kami berdua sangat terpukul dengan kenyataan ini.
Awalnya Kami bertekat untuk diam saja dan mencoba mengabaikan Alena yang menurut kami sangat lancang,”biarkan saja, biar dia merasakan kerasnya hidup,”ujar ayahnya geram.
Meskipun jengkel, namun aku tak mampu menahan air mataku yang terus mengalir. Bayangan masa-masa kecil Alena yang lucu membuat tubuhku semakin terguncang.
Seminggu sudah kami berusaha mengubur ingatan kami terhadap Alena. Namun, namanya orang tua, hati kecil kami tentu tidak akan tega melihat putri satu-satunya berada dalam kekurangan. Akhirnya, kami memutuskan mencari tahu kabar tentangnya. Berdasarkan info dari anak jalanan yang nongkrong di sekitar kampus, akhirnya kami mengetahui lokasi kontrakan cowok tersebut.
Setelah melakukan pengintaian beberapa hari lamanya, kami tahu bahwa Alena memang berada disana. Mengenaskan, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Alena dan cowoknya mengamen dijalan. Aku lihat, tak ada beban diwajah Alena. Dia justru nampak bahagia dengan profesinya yang menurutku sangat memalukan.
Suamiku terlihat murka dengan pilihan hidup Alena. Dia bertekat selamanya akan menghapus ingatannya tentang Alena. Namun nurani seorang ibu tentulah tidak semudah itu melupakan buah hati yang sudah payah dikandung dan dilahirkannya. Berhari-hari lamanya aku hanya bisa menangis dan memohon agar ayahnya kembali lembut terhadap anaknya.
“Bagaimanapun juga, dia putri kita, Yah,”rengekku.
Dia meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku tahu, sisi lembutnya juga menangis dan tidak tega melihat kondisi putrinya. Setelah lama berpikir, akhirnya diapun menyetujui permintaanku untuk menjemput putri kami di rumah tersebut.
Negosisasi terjadi. Putriku tidak akan kembali ke rumah jika dia harus berpisah dengan Leo. Dengan kata lain, putriku meminta kami merestui hubungan mereka dan berjanji untuk menghormati pilihannya.
Sebagai orang tua, kami merasa kalah. Yach, cinta kami terhadapnyalah yang membuat kami mengalah. Akhirnya, kamipun menyetujui permintaan putriku dan melegalkan hubungan mereka berdua dalam ikatan pernikahan. Entahlah, pada saat itu kami tak lagi memikirkan bagaimana harus menjawab jika ada teman atau kerabat bertanya, apa profesi menantuku? Yang jelas, sejak saat itu, kami memilih menutup diri dari pertanyaan yang bersifat pribadi.
Tapi rasa syukur masih tersisa manakala Leo, si anak jalanan yang menjadi menantuku berhasil berubah menjadi ayah yang bener buat cucuku. Yach, sejak awal kami memang memodali menantuku agar dia sukses dalam usaha yang digelutinya.
Keberhasilan mengantarkan anak lelakiku menjadi pengusaha sukses membuat kami terlalu PEDE akan mengulangi kesuksesan yang sama pada putriku. Tak ada yang aneh dengan putriku, dia anak yang baik, cantik, dan juga cerdas. Sebagai orang tuanya, kamipun memberikan kepercayaan penuh padanya untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Semenjak duduk di bangku kuliah, aku merasa ada yang aneh dengan putriku. Jika biasanya dia sangat cermat terhadap pengeluaran, kini dia jadi sangat boros. Dalam sebulan, aku bisa mentransfer 2-3 kali karena tidak tega melihat tabungannya yang menipis. Ketika ditanya, dia hanya menjawab bahwa tugas kuliahnya sangat padat sehingga pengeluarannya terus bertambah.
Awalnya aku sempat curiga, karena sebelumnya tidak pernah seboros ini. Namun kemudian aku berusaha menepisnya,”ah, anakku sudah dewasa, pastilah dia tahu mana yang terbaik untuknya,”pikirku.
***
Kepercayaanku mulai goyah manakala tanpa sengaja aku mendapati putriku tengah akrab dengan seorang cowok yang menurutku sangat tidak layak berteman dengan putriku. Sudah penampilannya aneh layaknya anak tidak pernah mandi, rambutnya gondrong, dan tubuhnya penuh tato. “Oh My God, apa-apaan ini?”pikirku.
Merasa murka, akupun memintanya pulang. Dihadapanku, dia nampak seperti biasa, sopan dan sok tidak tahu apa yang sudah dia lakukan.
“Siapa gembel yang bersamamu di depan kampus tadi?”bentakku tak mampu menahan diri.
Dia tampak terkejut mengetahui ibunya tahu petualangannya,”ehm, dia temanku, Bu,”jawabnya gugup.
“Teman, sejak kapan kampusmu menerima gembel kayak gitu?”bentakku dengan nada tinggi.
Dia berusaha membela mati-matian temannya, tapi aku tak peduli dan memaksanya untuk menjauh dari temannya itu.
“Pasti dia yang sudah memoroti uangmu,”kataku seraya melotot tajam kearahnya.
Dia terus menyangkal dan tidak terima aku menuduh temannya tersebut. Bahkan putriku yang dulunya sopan dan lembut justru berbalik melawanku dan berani mengataiku sembarangan. Astaghfirullah, betapa hancurnya perasaanku saat itu. Hanya gara-gara cowok yang menurutku tidak bener itu, putriku tega melontarkan kata-kata yang meyakitkan.
Aku menangis sedih. Kuadukan masalah tersebut pada suamiku yang tengah asyik berkutat dengan pekerjaannya di kantor. Dia sangat terkejut dan seperti tidak percaya dengan ceritaku. Aku sedikit lega ketika suamiku janji akan segera pulang untuk menyelesaikan masalah ini.
Aku melihat putriku mengurung diri di kamar. Mungkin dia merasa sock karena petualangannya sudah terendus olehku. Sesampainya suamiku dirumah, dia masih belum percaya dan berusaha mengkonfirmasi kebenaran ceritaku. Dengan gamblang akupun menjelaskan semuanya.
Kami berdua terdiam seribu bahasa, berusaha menemukan solusi atas permasalahan ini. Tak lama kemudian, suamiku beranjak dari kursinya,”aku akan bicara dengan Alena,”ujarnya gusar.
Aku tak berusaha mencegahnya, karena aku tahu pasti ayahnya lebih tahu apa yang harus dia lakukan. Selama ini, Alena memang lebih dekat dan akrab dengan ayahnya dibandingkan aku. Kulihat dia berjalan menuju kekamar putriku, sayup-sayup kudengar pembicaraan keduanya.
Putriku belum pernah mengenal cinta, walaupun yang aku tahu dia berkali-kali mendapat kiriman bunga ataupun cokelat dari teman-teman cowoknya. Tadinya putriku bisa dibilang sangat selektif dan tidak mau akrab dengan sembarang cowok. Karena itulah, aku dan ayahnya sangat percaya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap.
Tapi kini yang terjadi justru sebaliknya. Pilihan Alena justru jatuh pada cowok yang menurutku sangat tidak layak berada disampingnya. Kepalaku benar-benar pusing memikirkan masalah ini.
Suamiku keluar dari kamar Alena. Kulihat dia menggelengkan kepalanya, dia terlihat masih belum bisa menerima kenyataan bahwa hati putrinya sudah berlabuh pada laki-laki yang salah.
“Bagaimana, Yah?”tanyaku.
Dia terus saja menggeleng,”laki-laki itu bernama Leo, dia anak jalanan yang biasa mangkal di cafĂ© depan kampus Alena,”ujarnya berat.
Hatiku terasa diiris-iris pisau belati, “anak jalanan? Bagaimana mungkin putriku bisa dekat dengan cowok semacam itu?”pekikku.
Setelah berembug, akhirnya kami memutuskan untuk sementara waktu akan menjauhkan Alena dari cowok tersebut. Yach, kami berencana membawa Alena ke rumah Tantenya di luar kota.
Sayangnya rencana kami tercium olehnya. Pagi-pagi sekali kami mendapati kamar Alena kosong. Kami berdua sangat terpukul dengan kenyataan ini.
Awalnya Kami bertekat untuk diam saja dan mencoba mengabaikan Alena yang menurut kami sangat lancang,”biarkan saja, biar dia merasakan kerasnya hidup,”ujar ayahnya geram.
Meskipun jengkel, namun aku tak mampu menahan air mataku yang terus mengalir. Bayangan masa-masa kecil Alena yang lucu membuat tubuhku semakin terguncang.
Seminggu sudah kami berusaha mengubur ingatan kami terhadap Alena. Namun, namanya orang tua, hati kecil kami tentu tidak akan tega melihat putri satu-satunya berada dalam kekurangan. Akhirnya, kami memutuskan mencari tahu kabar tentangnya. Berdasarkan info dari anak jalanan yang nongkrong di sekitar kampus, akhirnya kami mengetahui lokasi kontrakan cowok tersebut.
Setelah melakukan pengintaian beberapa hari lamanya, kami tahu bahwa Alena memang berada disana. Mengenaskan, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Alena dan cowoknya mengamen dijalan. Aku lihat, tak ada beban diwajah Alena. Dia justru nampak bahagia dengan profesinya yang menurutku sangat memalukan.
Suamiku terlihat murka dengan pilihan hidup Alena. Dia bertekat selamanya akan menghapus ingatannya tentang Alena. Namun nurani seorang ibu tentulah tidak semudah itu melupakan buah hati yang sudah payah dikandung dan dilahirkannya. Berhari-hari lamanya aku hanya bisa menangis dan memohon agar ayahnya kembali lembut terhadap anaknya.
“Bagaimanapun juga, dia putri kita, Yah,”rengekku.
Dia meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku tahu, sisi lembutnya juga menangis dan tidak tega melihat kondisi putrinya. Setelah lama berpikir, akhirnya diapun menyetujui permintaanku untuk menjemput putri kami di rumah tersebut.
Negosisasi terjadi. Putriku tidak akan kembali ke rumah jika dia harus berpisah dengan Leo. Dengan kata lain, putriku meminta kami merestui hubungan mereka dan berjanji untuk menghormati pilihannya.
Sebagai orang tua, kami merasa kalah. Yach, cinta kami terhadapnyalah yang membuat kami mengalah. Akhirnya, kamipun menyetujui permintaan putriku dan melegalkan hubungan mereka berdua dalam ikatan pernikahan. Entahlah, pada saat itu kami tak lagi memikirkan bagaimana harus menjawab jika ada teman atau kerabat bertanya, apa profesi menantuku? Yang jelas, sejak saat itu, kami memilih menutup diri dari pertanyaan yang bersifat pribadi.
Tapi rasa syukur masih tersisa manakala Leo, si anak jalanan yang menjadi menantuku berhasil berubah menjadi ayah yang bener buat cucuku. Yach, sejak awal kami memang memodali menantuku agar dia sukses dalam usaha yang digelutinya.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah diatas adalah :
Anak bisa menjadi anugerah, bisa juga menjadi ujian. Oleh karena itu, apapun yang terjadi, jangan pernah melepaskan anak dari doa, karena hanya doa yang ampuh memberikan perlindungan untuknya.
Jangan hanya karena merasa sukses mendidik anak yang satunya, kita merasa PEDE akan mampu meraih sukses pada anak yang lainnya.
Yakinlah bahwa dibalik ujian yang menimpa, pastilah ada banyak hikmah yang dapat dipetik didalamnya
Jangan hanya karena merasa sukses mendidik anak yang satunya, kita merasa PEDE akan mampu meraih sukses pada anak yang lainnya.
Yakinlah bahwa dibalik ujian yang menimpa, pastilah ada banyak hikmah yang dapat dipetik didalamnya
Loading...