Aku tak hendak meratapi nasib yang sudah menyeretku sedemikian jauh dari impian yang kurenda di masa lalu. Akupun tak hendak menyalahkan keadaan yang meluluhlantakkan kekuatanku hingga yang tersisa hanyalah kepasrahan.
Madu cinta hanya sekejap kusesap, untuk kemudian kurelakan hati dan jiwaku menelan racun yang sempat membuatku hidupku nyaris hancur lebur. Tak kusangka, suami yang menjadi tumpuan harapanku dalam menapaki tangga-tangga kehidupan, bisa dengan mudahnya berpaling pada cinta yang baru. Padahal saat itu aku begitu membutuhkannya sebagai teman berbagi suka cita mendampingi dan membesarkan keempat buah cinta dambaan kami.
Awalnya aku tak menaruh curiga ketika frekuensi kepulangan suamiku semakin jarang. Prinsip saling percaya sudah terpatri dalam angan kami, sehingga terlalu curiga dan cemburu menjadi pantangan bagi kami berdua. Aku tak pernah menanyakan padanya, kenapa jadi jarang pulang dan akupun tak pernah protes saat uang belanja yang kuterima semakin menyusut dari waktu ke waktu.
“Kamu itu jangan bodoh, Rin. Kamu harus tegas sama suamimu,”kata Mbak Ambar saat mendengar curhatku. Mbak Ambar adalah satu-satunya kakak perempuanku yang tinggal satu wilayah denganku.
“Aku tidak bsia mencurigai suamiku sendiri, mbak,”jawabku.
“Tapi nyatanya, suamimu main api dibelakangmu,”bentak mbak Ambar dengan nada ketus.
Sebenarnya aku jarang sekali curhat mengenai rumah tanggaku, karena yang aku tahu aib suami adalah aibku juga. Namun ternyata gosip yang berhembus diluar sangatlah kencang hingga akhirnya sampai ke telinga Mbak Ambar yang memang suka bergaul dengan ibu-ibu PKK dikampungku.
Mendengar ucapan mbak Ambar yang penuh emosi, akupun mencoba tenang. Cerita yang kudengar dari mbak Ambar tentang suamiku sangatlah menyakitkan. Perlahan, kucoba meredam kegalauan yang sempat hinggap dihatiku. Dalam perih, aku tetap mencoba berhusnudzon pada suamiku atas perilakunya beberapa bulan ini.
“Maaf mbak, bukannya aku tidak percaya. Tapi mas Ilham tetaplah suamiku, ayah dari anak-anakku. Mbak tidak bisa segampang itu meminta aku memutuskan menggugat cerai, biar bagaimanapun aku memiliki privacy yang tidak semua orang boleh mencampurinya,”jawabku mencoba tegar.
“Oh jadi begitu keputusanmu? Ok fine, aku tidak akan ikut campur urusanmu lagi,”ucap Mbak Ambar dengan nada tinggi. Tanpa menungguku menjawab kata-katanya, mbak Ambar langsung beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi meninggalkanku.
Sebulan dua bulan aku mencoba bersabar, namun kelakuan mas ilham semakin menjadi. Dia tak lagi peduli dengan kondisiku dan anak-anak. Bahkan uang belanja yang sedianya dia berikan pada kami, justru tak lagi kuterima. Beruntung aku masih memiliki sisa tabungan yang kemudian kupakai untuk menyambung hidup.
Semakin terjepit dengan kondisi yang tidak mengenakkan, akupun memberanikan diri untuk bertanya pada suamiku. Bukannya menjelaskan, mas Ilham justru nampak acuh tak acuh padaku. Tak jua mendapatkan jawaban yang benar, akupun mencoba mengonfirmasi kebenaran gosip yang beredar di luar.
“Memangnya kenapa kalau aku kawin lagi, salah?”jawabnya tanpa tedeng aling-aling.
Hatiku bagai disayat sembilu. Pedih sekali. Cristal bening terus berjatuhan tanpa mampu kukendalikan. Kalau tidak mengingat wajah anak-anakku yang masih kecil, ingin rasanya aku menjerit dan melampiaskan kemarahanku padanya.
“Sudahlah, tidak usah merayuku dengan tangisanmu. Aku memang kawin lagi, karena kamu terlalu sibuk mengurus anak-anakmu,”katanya lagi. Sungguh alasan yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan anak-anak?
Kuhempaskan nafas yang tersendat oleh isak tangisku. Baru kusadari, betapa piciknya lelaki yang telah kupilih menjadi suamiku. Terbayang lagi kenangan manis saat berbulan madu, dimana dia pernah berangan untuk memiliki banyak anak dariku. Namun kenyataannya sekarang, dia menyerah dengan beratnya rutinitas merawat dan membesarkan titipan_Nya.
Tak ingin larut dalam kepedihan yang mendalam, akupun mencoba bangkit dan menatap ke depan. Dalam kelamnya malam, aku meminta pada Sang pemilik Kehidupan agar diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mendampingi keempat amanah_Nya.
Perlahan kutapaki jalanan yang terjal berliku tanpa genggaman tangan mas Ilham. Demi melanjutkan hidup yang kian berat, aku banting tulang sebagai tenaga serabutan dari rumah ke rumah. Setahun, dua tahun, hingga akhirnya akupun sudah terbiasa dengan keadaan yang menyesakkan ini.
Anak-anak tetap menjalin hubungan baik dengan ayahnya, karena aku tak pernah menanamkan benih-benih kebencian dihati mereka. Ketidak hadiran ayahnya dimaknai sebagai kesibukan sang ayah dalam bekerja. Anak-anak tidak pernah tahu, jika aku tidak mendapatkan sepeserpun dari penghasilan ayahnya. Namun begitu, aku tetap berusaha menunjukkan baktiku padanya dengan melayaninya sepenuh hati ketika bertandang ke rumah.
“Ibu, kenapa sich ayah jarang sekali kumpul dengan kita?” tanya Ami, putri sulungku.
“Iya nih, aku ingin seperti teman-temanku yang sekolah diantar ayahnya,”ujar si kecil Rocky.
Aku hanya tersenyum sembari membelai hati mereka agar tak lagi menuntut banyak pada ayahnya. Anak-anakpun tak pernah menyadari bahwa dalam hati ibunya ada luka yang menganga dan siap berdarah setiap saat bila mereka terus mengusik tentang ayahnya.
Perjuangan hidup kian berat ketika aku harus membiayai pendidikan keempat buah hatiku. Meski begitu, aku tak mau menyerah. Kuperas keringatku lebih kencang lagi dan kupacu tenagaku lebih kuat lagi hingga akhirnya kedua putriku lulus dari SMK.
Kehidupanku terasa lebih ringan manakala kedua buah hatiku sudah mulai bekerja dan mengikhlaskan sebagian jerih payahnya untuk membantuku membiayai pendidikan adik-adiknya.
***
“Bu, maukah ibu jujur pada kami tentang ayah,”ucap Amy dan Rara yang tiba-tiba menemuiku di kamar.
“Ayahmu seorang pekerja keras dan penyayang keluarga,”jawabku kikuk.
“Bohong, kenapa ibu menutupi semuanya dari kami?”ucap Amy sembari menatapku dalam-dalam.
Sungguh, saat itu kurasakan desiran darahku kian deras. Kaget dan bingung dengan kenyataan ini. Kecemasan yang coba kututupi justru membuatku terlihat bodoh di mata anak-anak. “Maafkan ibu jika kalian anggap ibu berbohong, tapi tolong biarkan ibu melakukan apa yang seharusnya ibu lakukan,”jawabku mencoba menenangkan.
Awalnya mereka terlihat emosi. Ternyata mbak Ambar biang keladi semua ini, dia berusaha memprovokasi anak-anak agar membenci ayahnya. Namun dengan penuh cinta, aku menjelaskan bahwa semua manusia pasti akan mengalami ujian hidup yang akan mengangkat manusia kepada derajat yang lebih tinggi apabila berhasil menaklukkannya.
“Maafkan ibumu, nak. Mungkin ibu bukan wanita perkasa yang tak sanggup berpisah dari ayahmu karena memikirkan kebutuhan kalian akan kasih sayangnya. Mungkin ibumu juga bukan wanita hebat sehingga tak mampu menahan langkah ayahmu untuk kalian,”ucapku bersamaan lelehan cristal yang tak mampu kutahan.
Kedua anakku ikut menangis sembari memelukku erat,”maafkan kami, Bu. gara-gara kami, ibu harus rela menelan kepahitan ini.” Sungguh, tubuhku kian terguncang oleh isak tangis.
Sejak kejadian itu, mereka tak pernah lagi menyalahkanku atas pilihanku tetap setia pada ayahnya. Aku melihat anak-anakku bersikap semanis mungkin saat ayahnya pulang. Bahkan dua putriku melarang ayahnya bekerja demi bisa setiap hari menemaniku. Suamiku tampak tersenyum dengan tawaran kedua putrinya.
Kekompakan dan kasih sayang kedua putriku membuat kebekuan hubunganku dengan mas Ilham semakin mencair. Lambat laun, luka hatiku mulai mengering dan hilang tak berbekas manakala kudapati perubahan besar dalam diri suamiku. Aku melihat segurat penyesalan dalam dirinya atas perlakuannya padaku selama ini.
Hari-hariku yang awalnya kelabu kembali berwarna lagi. Api cinta yang telah lama redup kembali menyala. Kekompakan yang dulu sempat hilang mulai hadir kembali ketika kami harus mengantarkan putri sulungku ke pelaminan.
Rasa syukur tak hentinya kupanjatkan atas rahmat dan kemurahan_Mu Ya Allah. Kesabaran yang terus kupupuk selama ini, akhirnya berbuah manis. Suamiku telah kembali seperti pertama kali aku mengenalnya, sabar dan penyayang. Aku tak lagi peduli, bagaimana dengan maduku. Bagiku, kehadiran dan kasih sayang mas Ilham padaku dan anak-anak sudah sangat cukup memberikan kebahagiaan.
Madu cinta hanya sekejap kusesap, untuk kemudian kurelakan hati dan jiwaku menelan racun yang sempat membuatku hidupku nyaris hancur lebur. Tak kusangka, suami yang menjadi tumpuan harapanku dalam menapaki tangga-tangga kehidupan, bisa dengan mudahnya berpaling pada cinta yang baru. Padahal saat itu aku begitu membutuhkannya sebagai teman berbagi suka cita mendampingi dan membesarkan keempat buah cinta dambaan kami.
Awalnya aku tak menaruh curiga ketika frekuensi kepulangan suamiku semakin jarang. Prinsip saling percaya sudah terpatri dalam angan kami, sehingga terlalu curiga dan cemburu menjadi pantangan bagi kami berdua. Aku tak pernah menanyakan padanya, kenapa jadi jarang pulang dan akupun tak pernah protes saat uang belanja yang kuterima semakin menyusut dari waktu ke waktu.
“Kamu itu jangan bodoh, Rin. Kamu harus tegas sama suamimu,”kata Mbak Ambar saat mendengar curhatku. Mbak Ambar adalah satu-satunya kakak perempuanku yang tinggal satu wilayah denganku.
“Aku tidak bsia mencurigai suamiku sendiri, mbak,”jawabku.
“Tapi nyatanya, suamimu main api dibelakangmu,”bentak mbak Ambar dengan nada ketus.
Sebenarnya aku jarang sekali curhat mengenai rumah tanggaku, karena yang aku tahu aib suami adalah aibku juga. Namun ternyata gosip yang berhembus diluar sangatlah kencang hingga akhirnya sampai ke telinga Mbak Ambar yang memang suka bergaul dengan ibu-ibu PKK dikampungku.
Mendengar ucapan mbak Ambar yang penuh emosi, akupun mencoba tenang. Cerita yang kudengar dari mbak Ambar tentang suamiku sangatlah menyakitkan. Perlahan, kucoba meredam kegalauan yang sempat hinggap dihatiku. Dalam perih, aku tetap mencoba berhusnudzon pada suamiku atas perilakunya beberapa bulan ini.
“Maaf mbak, bukannya aku tidak percaya. Tapi mas Ilham tetaplah suamiku, ayah dari anak-anakku. Mbak tidak bisa segampang itu meminta aku memutuskan menggugat cerai, biar bagaimanapun aku memiliki privacy yang tidak semua orang boleh mencampurinya,”jawabku mencoba tegar.
“Oh jadi begitu keputusanmu? Ok fine, aku tidak akan ikut campur urusanmu lagi,”ucap Mbak Ambar dengan nada tinggi. Tanpa menungguku menjawab kata-katanya, mbak Ambar langsung beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi meninggalkanku.
Sebulan dua bulan aku mencoba bersabar, namun kelakuan mas ilham semakin menjadi. Dia tak lagi peduli dengan kondisiku dan anak-anak. Bahkan uang belanja yang sedianya dia berikan pada kami, justru tak lagi kuterima. Beruntung aku masih memiliki sisa tabungan yang kemudian kupakai untuk menyambung hidup.
Semakin terjepit dengan kondisi yang tidak mengenakkan, akupun memberanikan diri untuk bertanya pada suamiku. Bukannya menjelaskan, mas Ilham justru nampak acuh tak acuh padaku. Tak jua mendapatkan jawaban yang benar, akupun mencoba mengonfirmasi kebenaran gosip yang beredar di luar.
“Memangnya kenapa kalau aku kawin lagi, salah?”jawabnya tanpa tedeng aling-aling.
Hatiku bagai disayat sembilu. Pedih sekali. Cristal bening terus berjatuhan tanpa mampu kukendalikan. Kalau tidak mengingat wajah anak-anakku yang masih kecil, ingin rasanya aku menjerit dan melampiaskan kemarahanku padanya.
“Sudahlah, tidak usah merayuku dengan tangisanmu. Aku memang kawin lagi, karena kamu terlalu sibuk mengurus anak-anakmu,”katanya lagi. Sungguh alasan yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan anak-anak?
Kuhempaskan nafas yang tersendat oleh isak tangisku. Baru kusadari, betapa piciknya lelaki yang telah kupilih menjadi suamiku. Terbayang lagi kenangan manis saat berbulan madu, dimana dia pernah berangan untuk memiliki banyak anak dariku. Namun kenyataannya sekarang, dia menyerah dengan beratnya rutinitas merawat dan membesarkan titipan_Nya.
Tak ingin larut dalam kepedihan yang mendalam, akupun mencoba bangkit dan menatap ke depan. Dalam kelamnya malam, aku meminta pada Sang pemilik Kehidupan agar diberikan kekuatan dan kesabaran dalam mendampingi keempat amanah_Nya.
Perlahan kutapaki jalanan yang terjal berliku tanpa genggaman tangan mas Ilham. Demi melanjutkan hidup yang kian berat, aku banting tulang sebagai tenaga serabutan dari rumah ke rumah. Setahun, dua tahun, hingga akhirnya akupun sudah terbiasa dengan keadaan yang menyesakkan ini.
Anak-anak tetap menjalin hubungan baik dengan ayahnya, karena aku tak pernah menanamkan benih-benih kebencian dihati mereka. Ketidak hadiran ayahnya dimaknai sebagai kesibukan sang ayah dalam bekerja. Anak-anak tidak pernah tahu, jika aku tidak mendapatkan sepeserpun dari penghasilan ayahnya. Namun begitu, aku tetap berusaha menunjukkan baktiku padanya dengan melayaninya sepenuh hati ketika bertandang ke rumah.
“Ibu, kenapa sich ayah jarang sekali kumpul dengan kita?” tanya Ami, putri sulungku.
“Iya nih, aku ingin seperti teman-temanku yang sekolah diantar ayahnya,”ujar si kecil Rocky.
Aku hanya tersenyum sembari membelai hati mereka agar tak lagi menuntut banyak pada ayahnya. Anak-anakpun tak pernah menyadari bahwa dalam hati ibunya ada luka yang menganga dan siap berdarah setiap saat bila mereka terus mengusik tentang ayahnya.
Perjuangan hidup kian berat ketika aku harus membiayai pendidikan keempat buah hatiku. Meski begitu, aku tak mau menyerah. Kuperas keringatku lebih kencang lagi dan kupacu tenagaku lebih kuat lagi hingga akhirnya kedua putriku lulus dari SMK.
Kehidupanku terasa lebih ringan manakala kedua buah hatiku sudah mulai bekerja dan mengikhlaskan sebagian jerih payahnya untuk membantuku membiayai pendidikan adik-adiknya.
***
“Bu, maukah ibu jujur pada kami tentang ayah,”ucap Amy dan Rara yang tiba-tiba menemuiku di kamar.
“Ayahmu seorang pekerja keras dan penyayang keluarga,”jawabku kikuk.
“Bohong, kenapa ibu menutupi semuanya dari kami?”ucap Amy sembari menatapku dalam-dalam.
Sungguh, saat itu kurasakan desiran darahku kian deras. Kaget dan bingung dengan kenyataan ini. Kecemasan yang coba kututupi justru membuatku terlihat bodoh di mata anak-anak. “Maafkan ibu jika kalian anggap ibu berbohong, tapi tolong biarkan ibu melakukan apa yang seharusnya ibu lakukan,”jawabku mencoba menenangkan.
Awalnya mereka terlihat emosi. Ternyata mbak Ambar biang keladi semua ini, dia berusaha memprovokasi anak-anak agar membenci ayahnya. Namun dengan penuh cinta, aku menjelaskan bahwa semua manusia pasti akan mengalami ujian hidup yang akan mengangkat manusia kepada derajat yang lebih tinggi apabila berhasil menaklukkannya.
“Maafkan ibumu, nak. Mungkin ibu bukan wanita perkasa yang tak sanggup berpisah dari ayahmu karena memikirkan kebutuhan kalian akan kasih sayangnya. Mungkin ibumu juga bukan wanita hebat sehingga tak mampu menahan langkah ayahmu untuk kalian,”ucapku bersamaan lelehan cristal yang tak mampu kutahan.
Kedua anakku ikut menangis sembari memelukku erat,”maafkan kami, Bu. gara-gara kami, ibu harus rela menelan kepahitan ini.” Sungguh, tubuhku kian terguncang oleh isak tangis.
Sejak kejadian itu, mereka tak pernah lagi menyalahkanku atas pilihanku tetap setia pada ayahnya. Aku melihat anak-anakku bersikap semanis mungkin saat ayahnya pulang. Bahkan dua putriku melarang ayahnya bekerja demi bisa setiap hari menemaniku. Suamiku tampak tersenyum dengan tawaran kedua putrinya.
Kekompakan dan kasih sayang kedua putriku membuat kebekuan hubunganku dengan mas Ilham semakin mencair. Lambat laun, luka hatiku mulai mengering dan hilang tak berbekas manakala kudapati perubahan besar dalam diri suamiku. Aku melihat segurat penyesalan dalam dirinya atas perlakuannya padaku selama ini.
Hari-hariku yang awalnya kelabu kembali berwarna lagi. Api cinta yang telah lama redup kembali menyala. Kekompakan yang dulu sempat hilang mulai hadir kembali ketika kami harus mengantarkan putri sulungku ke pelaminan.
Rasa syukur tak hentinya kupanjatkan atas rahmat dan kemurahan_Mu Ya Allah. Kesabaran yang terus kupupuk selama ini, akhirnya berbuah manis. Suamiku telah kembali seperti pertama kali aku mengenalnya, sabar dan penyayang. Aku tak lagi peduli, bagaimana dengan maduku. Bagiku, kehadiran dan kasih sayang mas Ilham padaku dan anak-anak sudah sangat cukup memberikan kebahagiaan.
Loading...