Di sebuah perkampungan ditengah kota, hidup sepasang suami istri yang mengais rejeki sebagai penjual pentol cilok. Meskipun hanya cilok atau baso-basoan, tapi mereka tidak sembarangan dalam mengolahnya. Pemilihan bahan-bahan terbaik dan proses pengolahan yang bersih selalu diutamakan. Selain itu, doa juga menjadi hal yang wajib diucapkan ketika membuat adonan cilok.
Walau terbuat dari bahan-bahan yang sederhana, namun cilok buatan Pak Beni selalu menjadi jajanan wajib bagi anak-anak sekolah. Demi menambah penghasilan, istri pak Beni berinisiatif membuat gulali dan es teh, serta gorengan.
“Saya beli gulalinya, Pak,”teriak satu anak.
“Saya cilok sama es tehnya,”teriak yang lainnya.(Baca kisah inpiratif lainnnya disini)
Begitulah, setiap kali jam istirahat berlangsung, anak-anak sekolah akan langsung berlarian mengerubungi penjual gerobak Pak Beny.
“Wih, sampai nggak kelihatan nih penjualnya,”kata salah satu wali murid yang kebetulan mengantarkan anaknya.
“Ah, bisa aja ibu nih, “seperti biasa, Pak Beni menjawab sapaan tersebut dengan senyum ramahnya.
Dengan sabar, Pak Beni melayani permintaan anak-anak yang membeli dagangannya. Untuk mengusir penat dan jenuh, tak jarang Pak Beni melontarkan lelucon yang membuat anak-anak tertawa riang.
Selain jajanan yang enak, sepertinya kesabaran dan kelucuan Pak Benilah yang membuat anak-anak merasa betah dan ingin bersapa ria dengannya.(Baca juga kisah Wasiat Terakhir ibu)
Tak pelak kondisi tersebut memicu rasa iri dan dengki para pedagang lainnya.
“Apa sich istimewanya, makanan dari kanji saja kok laris sekali,”kata Pak Roni, penjual batagor penuh selidik.
“Ah pasti ada yang tidak beres dengan tuh orang,”timpal penjual mie telur.
Beberapa penjual merasa kehadiran Pak Beny membuat rejekinya berkurang. Sebenarnya, Pak Beni bisa merasakan ketidaksukaan tetangganya, namun dia berusaha menepis perasaan itu dan terus menjalin silaturrahmi dengan mereka.
Suatu hari, Pak Roni, si penjual batagor mendatanginya dan minta diajari cara membuat cilok. Dengan ikhlas dan tanpa rasa was-was, Pak Beni mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada sahabatnya. Bahkan Pak Beni juga rela berbagi rejeki, ketika sahabatnya mengutarakan niatnya hendak berjualan cilok yang sama di sekolah tersebut.
“Pak Beni nggak marah khan kalau saya jualan cilok juga?”tanya pak Roni.
“Oh, kenapa saya harus marah, Pak, toh rejeki tidak akan tertukar meskipun kita berjualan barang yang sama,”jawabnya bijak.
Pak Roni merasa senang. Dalam hatinya, dia berangan akan mampu merebut pelanggan Pak Beni di sekolah tersebut.
Keesokan harinya, Pak Roni mulai menggelar dagangan yang sama dengan Pak Beni, yakni cilok. Beberapa pelanggan pak Beni ada yang beralih membeli cilok Pak Roni, karena memang rasa ciloknya sangat mirip dengan buatan pak Beni. Melihat dagangannya laris manis, Pak Ronipun merasa sangat bahagia.
“Gimana, cilokku lebih enak dari punya Pak Beni khan?”tanya Pak Roni kepada anak-anak.
“Iya nih, cilok dan bumbunya memang enak,”jawab beberapa anak-anak.
Anak-anak yang lugu itu mengiyakan saja, karena Pak Roni memang memodifikasi bumbu cilok dengan bumbu kacang, sehingga rasanya enak seperti bumbu batagor. Mendengar pujian anak-anak, Pak Roni semakin bersemangat menjelek-jelekkan cilok Pak Beni.
“Makanya, ajak teman-temanmu beli cilok disini, daripada beli cilok disitu rasanya aneh,”ujar Pak Roni seraya memicingkan matanya kearah gerobak Pak Beni.
Beberapa hari lamanya, dagangan Pak Beni agak sepi. Meski begitu, dia tak berprasangka buruk pada Pak Roni. Pak Beni ikhlas, beberapa pelanggannya memutuskan membeli cilok di tempat sahabatnya. Pak Beni tetap ceria dan menebarkan lelucon pada anak-anak yang setia membeli dagangannya.
Beberapa hari lamanya, dagangan Pak Beni agak sepi. Meski begitu, dia tak berprasangka buruk pada Pak Roni. Pak Beni ikhlas, beberapa pelanggannya memutuskan membeli cilok di tempat sahabatnya. Pak Beni tetap ceria dan menebarkan lelucon pada anak-anak yang setia membeli dagangannya.
Namun lama-kelamaan, beberapa pelanggan lama pak Beni yang sempat pindah di tempat Pak Roni mulai merasa bosan mendengar kebencian yang ditebarkan Pak Roni kepada pak Beni. Mereka mulai bisa membedakan mana pedagang yang berhati baik dan mana yang berhati busuk.
Dan benar, ketulusan Pak Beni dalam membuat jajanan yang halalan toyyiban membuat beberapa pelanggannya yang sempat beralih ke sahabatnya kembali lagi padanya. Sedangkan demi mendapatkan untung besar, Pak Roni tega mencampur cilok dengan bahan-bahan yang berbahaya, seperti MSG, pewarna, dan yang lainnya.
“Laris…. laris.. bisa naik haji dech,”ledek Pak Roni, diikuti gelak tawa penjual jajanan lainnya.
“Mimpi kali ye! Bisa buat makan aja udah syukur, ya Bang,”ejek si penjual Es Krim.
“Amin, semoga saja saya diberi kecukupan dan bisa pergi haji dari uang recehan ini!”jawab pak Beni santun. Dia bukannya tidak tahu kalau teman-temannya sedang menghinanya, namun dia justru mengaminkan hinaan temannya tersebut dengan penuh kepasrahan kepada Allah SWT.
Diam-diam, Pak Beni menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung. Meskipun hanya uang recehan, namun niat Pak Beni terlalu kuat untuk bisa bertandang ke tanah suci. Setelah lima tahun berlalu, akhirnya Pak Beni berhasil memberi kejutan kepada istri tercintanya.
“Bapak dapat uang dari mana bisa mendaftarkan saya berhaji?”tanya sang istri hampir tidak percaya.
Pak Beni tersenyum,”dari mana lagi, Bu, ya dari uang recehan yang saya kumpulkan selama ini,”jawabnya.
Sang istri tak hentinya bersyukur kepada Allah atas hadiah indah yang diberikan padanya melalui kerja keras sang suami.
Meskipun dirahasiakan dari umum, namun beberapa saudara Pak Beni maupun istrinya tak mampu menahan rasa bahagianya sehingga berita tentang keberangkatan Pak Beni ke tanah suci akhirnya sampai ke telinga tetangganya. Kabar Pak Beni, si tukang cilok yang hendak naik haji terus menyebar luas ke telinga teman-tema sesame penjual yang dulu menghina dan merendahkannya. Mereka terlihat malu manakala hinaan dan caciannya justru menjadi pendorong terkabulnya doa bagi si Penjual Cilok untuk berangkat ke tanah suci.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah diatas adalah :
Jangan pernah bersedih dengan hinaan atau ejekan yang dilontarkan orang-orang terhadapmu. Sabar dan syukurilah apa yang tengah menimpamu, karena bisa jadi hinaan dan cacian itu merupakan pendorong kesuksesanmu. Doakan kembali orang yang menghinamu dengan doa yang terbaik, karena jika orang tersebut tidak pantas menerima doamu, maka doa itu akan kembali lagi padamu dan betapa beruntungnya kalian.
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
(QS: Al-A'raf Ayat: 199)
Loading...