“Nak, kamu masih muda, menikahlah!”pinta mertua dengan cristal bening yang terus menggenang.
Aku hanya tersenyum seraya menggeleng,”ijinkan saya tetap bersama Ninda, Bu”,”jawabku.
Bukan sekali dua kali ibu mertua menyuruhku menikah lagi. Sudah 2 tahun istriku terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lumpuh separoh setelah menjalani operasi akibat kelainan otak yang dideritanya.(Baca juga : Lara Hati istri yang dipoligami)
Memang tak mudah menjalankan semuanya sendiri, apalagi kedua anakku masih kecil yang seharusnya sangat membutuhkan peran ibunya. Setiap hari, aku harus bangun lebih pagi agar semua pekerjaan selesai tepat waktu, dari mulai memasak, mencuci, merawat istri dan anak-anak. Beruntung sekali ibu dan iparku selalu sigap membantu pekerjaanku. Kadang kalau aku pulang telat, merekalah yang menghandle semua pekerjaanku.
***
Aku dekat dengan Ninda sejak SMA. Dia perempuan yang sangat cantik dan cerdas, tak heran ketika lulus kuliah dia diterima bekerja di sebuah bank ternama. Kami dipertemukan kembali pada saat yang tidak tepat, yakni ketika Ninda sudah bertunangan dengan lelaki mapan pilihan orang tuanya.
Aku sempat kecewa dengan kenyataan itu, namun secercah harapan muncul saat Ninda menceritakan bahwa dia begitu mengharapkan kehadiranku. Ninda terpaksa menyetujui pertunangannya, padahal dia tidak pernah mencintai lelaki pilihan orang tuanya. (Baca juga : Kesedihan menantu yang dicemburui mertua)
Diam-diam hubungan kamipun berlanjut, hingga Ninda dengan tegasnya memutuskan tali pertunangannya. Kenyataan tersebut membuat kedua orang tua Ninda kecewa dan mereka begitu membenciku.
“Demi polisi rendahan begini, kamu rela meninggalkan Fatih yang pengusaha sukses?”kata Ibunya dengan tatapan sinis ketika pertama kali Ninda mengenalkanku pada orang tuanya.
Ninda berusaha membelaku, namun tetap saja tak merubah pandangan orang tuanya terhadapku.
Berbulan-bulan lamanya menjalin hubungan tanpa restu orang tuanya membuatku sempat putus asa dan berniat melepaskannya. Namun urung kulakukan saat aku mendengar Ninda mengalami kejadian yang membuatnya harus diopname di Rumah Sakit.
“Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku ya!”pintanya penuh harap.
Aku terhenyak mendengar harapnya,”aku janji akan bersabar menunggu restu orang tuamu,”jawabku membuat senyumnya kembali mengembang.
Kegigihanku dalam mengejar cinta Ninda membuat pertahanan orang tuanya mulai mengendur. Mereka tidak lagi melarang Ninda jalan denganku, bahkan menurutku mereka mulai merestui hubungan kami.
Ternyata anggapanku tak sepenuhnya benar, kedua orang tuanya hanya terpaksa merestui kami. Terbukti ketika lamaran berlangsung, keluarga Ninda bersikap acuh tak acuh dan terlihat meremehkan keluargaku. Aku sadar, memang keluargaku hanyalah keluarga petani yang sangat sederhana, berbeda dengan keluarga Ninda yang kaya dan modern.
Bahkan yang sangat memberatkan lagi ketika orang tua Ninda mengajukan persyaratan bahwa aku harus memenuhi kebutuhan pesta pernikahan kami. Bukan pesta sederhana sebagaimana yang di gelar di desa-desaku, tapi pesta mewah khas keluarga Ninda.
Awalnya aku berpikir, mungkin ini salah satu cara untuk memutuskan hubungan kami. Namun akhirnya akupun mencoba berpikir positif, toh uang tersebut untuk membiayai pesta pernikahan kami. Tapi masalahnya, darimana aku mendapatkan uang tersebut, sedangkan gajiku sebagai polisi selama setahun saja masih kurang untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Akhirnya, ibu berinisiatif menjual sawahnya demi membantu memenuhi persyaratan tersebut. Meskipun segan, tapi aku tak mampu menolak kehendak ibu yang ingin melihatku bahagia.
***
Pesta mewah digelar dan kamipun resmi menjadi pasangan suami istri. Tadinya aku berpikir bisa memiliki Ninda sepenuhnya, tapi ternyata orang tuanya tak semudah itu melepaskan putrinya. Rencanaku memboyong Ninda kerumah orang tuaku ditolak mentah-mentah sama mereka.
“Ninda boleh kamu bawa, asalkan kamu sudah punya rumah sendiri bukan dirumah orang tuamu,”kata ibunya ketus.
“Bu, jangan begitu, biarlah sementara waktu aku ikut suamiku, üjar Ninda memohon.
“Enggak, kamu itu anakku jadi jangan melawan perintahku,”bentak ibunya.
Hatiku teramat perih menerima perlakuan mereka. Harga diriku sungguh tercabik-cabik, manakala untuk memboyong istriku ke rumah saja aku tak diijinkan. Kesabaranku benar-benar diuji, hidup satu atap dengan mertua yang sebenarnya sangat membenciku.
“Mas, sabar ya! Kata-kata ibu ada benarnya juga, mendingan kita disini sampai kita mampu beli rumah baru,”ujar Ninda mencoba menenangkanku, sedangkan aku hanya diam tanpa mengiyakan pendapatnya.
Sebulan berlalu, Ninda mendapatkan kehamilan. Bukannya bahagia, ibu mertua justru menyalahkan kami karena ceroboh hingga kebobolan hamil.
“Rumah saja belum mampu beli, sudah hamil lagi,”ujarnya dengan nada sinis dihadapanku.
Aku mencoba bersabar mendengar kata-kata kasar dan cemooh ibu mertua. Demi Ninda dan calon anakku, aku rela direndahkan bagai binatang yang tak berperasaan,”Ya Allah, berikan kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi ujian ini,”doaku.
Sembilan bulan sudah Ninda melalui kehamilannya. Sebagai suami, aku tak mau melewatkan proses mendebarkan mendampingi persalinan istriku. Air mataku tak mampu kubendung manakala jerit tangis buah hatiku memenuhi seluruh ruangan.
Senyum kebahagiaan terus mengembang dari bibirku. Menurutku Allah begitu baik karena sudah memberikan menyejuk jiwa untukku. Aku sangat berharap kehadiran bayi mungil ini akan mampu melekatkan hubunganku dengan orang tua Ninda.
Langkahku kian mantap untuk segera memiliki rumah sendiri. Membeli rumah sederhana menjadi targetku tahun ini. Aku berusaha mencapainya meskipun harus bekerja ekstra keras.
Ketika melihat sebuah rumah sederhana, akupun mencoba mengutarakannya kepada Ninda. Dia tidak masalah dan setuju saja asalkan aku bahagia, namun ibunya langsung menolak keras.
“Bagaimana mungkin kau bawa putri dan cucuku tinggal di rumah jelek begitu,”ejeknya.
Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan. Apa yang kurencanakan kembali kandas di tengah jalan. Ya Allah, kapan aku mampu memenuhi keinginan ibu kalau yang dia inginkan selalu yang berbau kemewahan.
Meskipun malu, akhirnya aku nekat mengutarakan keinginanku pada orang tuaku untuk bisa membeli rumah baru sesuai keinginan mertua.
Demi meringankan bebanku, lagi-lagi ibu rela menjual perhiasan dan barang-barang berharganya,”ini Nak, semoga saja berkah ya!”ujarnya.
Aku menangis sejadi-jadinya dihadapan ibuku,”ampuni putramu yang hingga kini selalu menyusahkanmu.”
Ibu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya,”tidak Nak, sudah menjadi kewajiban ibu untuk membahagiakanmu sampai kapanpun,”ujarnya membuat tubuhku semakin terguncang.
Tekatku sudah bulat untuk membeli sebuah rumah yang sesuai keinginan mertua. Setelah semuanya beres, kamipun berencana pindahan ke rumah baru. Meskipun bahagia melihat kami memiliki rumah baru, namun ibu tak serta merta meloloskan keinginan kami. Menurutnya, rumah kami belum sempurna karena belum dilengkapi dengan perabotan. Aku sudah mencoba menjelaskan akan mencicil membelinya setiap bulan, namun tetap saja tidak diterima.
Ya sudahlah, akhirnya kamipun menuruti saja apa maunya. Tiga bulan kemudian, setelah semuanya sudah lengkap barulah ibu mengijinkan kami pindah rumah.
Namun ketika mobil kami siap berangkat, tiba-tiba Ninda mengalami kejadian yang mengejutkan hingga dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Setelah serangkaian pemeriksaan dilakukan, dokter menyatakan kalau Ninda menderita kelainan di otaknya dan harus segera dioperasi.
Aku benar-benar sock menerima kenyataan ini. Disaat rencana indah siap dijelang, istriku justru mengalami hal sangat menyedihkan.
“Ya Allah, ujian apalagi yang harus kujalankan,”ujarku.
Operasi berjalan dengan lancar, namun aku harus menerima kenyataan yang lebih menyakitkan lagi. Tubuh istriku lumpuh separoh sehingga dia tidak mampu melakukan semuanya sendiri.
Mengetahui kondisinya, Ninda nampak sangat terluka dan putus asa. Selain lumpuh, Ninda juga kehilangan kemampuan berbicara. Aku terus mencoba menenangkan dan menguatkannya meskipun hatiku sendiri teramat perih mendapati cobaan yang berat ini.
Rencana pindah rumah hanya tinggal rencana, karena musibah yang tengah menerpa rumah tangga kami. Keangkuhan ibu sedikit memudar manakala melihat kesabaranku merawat Ninda dan juga cucunya.
Ditengah musibah yang mendera, Allah menghadiahkan sesuatu yang indah. Dalam perut Ninda hadir buah hati kami yang kedua. Ternyata sudah tiga bulan ini dia hadir dalam rahim istriku, kesibukan kami dalam mempersiapkan rumah baru membuat kami tak menyadari kehadirannya.
Ninda sempat tidak mau menerima kehamilannya. Dia takut bayinya ikut cacat, karena setiap hari dia wajib minum obat-obatan. Aku sempat bingung dan mencemaskan kondisi Ninda yang lumpuh, tapi nyatanya Allah berikan kekuatan pada si janin untuk terus bertahan dalam rahim istriku.
Sembilan bulan berlalu dengan cepatnya, kecemasanku kembali bertambah manakala mendampingi Ninda menjalani persalinan di rumah sakit. Subhanallah, Allah Maha Baik dan pemurah karena sudah melancarkan proses persalinan Ninda.
Kelahiran putraku membuat tugasku kian berat. Aku harus merawat istriku yang lumpuh, si sulung dan bayi mungil yang sejatinya sangat membutuhkan pelukan hangat ibunya.
Merasa kesulitan membagi waktu, akhirnya aku mengutarakan niatku untuk memboyong Ninda ke rumah orang tuaku. Untuk pertama kalinya, orang tua Ninda bersikap pasrah, mereka menyerahkan semua keputusan ditanganku. Meskipun terlambat, aku sangat bahagia bisa leluasa mengatur keluargaku.
Dirumah orang tuaku, semua keluarga ikut meringankan bebanku dalam merawat Ninda dan anak-anakku. Aku bersyukur, kerukunan dan kasih sayang keluargaku membuat kondisi Ninda mulai membaik. Semangat hidupnya kembali bangkit, dia tidak manja lagi dan mau berusaha melakukan semuanya sendiri, seperti mengenakan pakaian, dandan, makan, minum, dan pekerjaan lainnya.
Pagi itu, keluarga Ninda datang menjenguk putrinya. Tak ada tampang angkuh sebagaimana selama ini mereka perlihatkan padaku dan keluargaku. Keduanya tampak sedih menatap kondisi yang menimpa putri dan cucu-cucunya.
“Nak, maafkan kesalahan kami selama ini ya, kami terlalu egois dan suka memaksakan kehendak,”ujar ibunya terbata-bata.
Aku tersenyum,”sudahlah, Bu, saya sudah melupakan semuanya,”jawabku.
“Nak, sudah lama kamu menderita, kini biarlah kami menjemput Ninda dan anak-anakmu,”kata ayah dengan suara berat.
Ibu mertua membenarkan ucapan suaminya. Mereka berencana merawat Ninda dan anak-anaku agar aku bisa melanjutkan hidup dengan menikahi wanita lain yang sehat.
“Astagfirullah, Yah, Bu, sedikitpun tidak terbersit niat dalam hati saya untuk meninggalkan Ninda dan anak-anak,”jawabku.
Aku tahu, mungkin mereka meragukan kesabaranku dalam merawat Ninda yang lumpuh dan juga kedua anakku. Namun sedikitpun tak ada niat untuk mengembalikan Ninda kepada mereka, selaku orang tuanya. Justru kondisi ini semakin menguatkan tekatku untuk terus mendampinginya.
Mendengar jawabanku, mertuaku tak mampu menahan air matanya. Kulihat istriku semakin terisak oleh tangisnya.
Setelah kepergian orang tuanya, istriku kembali membahas ucapan orang tuanya, “Mungkin benar yang dikatakan ayah dan ibu, Mas berhak melanjutkan hidup,”ujarnya pelan.
Lagi-lagi aku tersenyum, “aku berhak melanjutkan hidup bersama kamu dan juga anak-anakku,”jawabku mencoba menutup pembahasan tersebut.
Hampir sebulan sekali, orang tua Ninda datang menjenguk. Dan mereka tak hentinya menawarkan niatnya untuk membawa Ninda dan anak-anakku demi aku bisa melanjutkan hidup.
“Bu, in sya Allah impianku takkan berubah untuk bisa terus bersama istri dan anak-anakku, jadi tolong jangan hancurkan impianku,”ujarku memohon.
Seperti biasa, mereka hanya bisa menatap haru dan berterima kasih banyak atas keputusanku. Tak lupa ribuan doa disematkan pada keluarga kami.
Sejak saat itu, hubungan kami melebihi mertua dan menantu. Aku merasa mereka begitu menyayangi dan memperhatikan keluarga kecilku. Aku bersyukur, akhirnya semua berakhir indah. Kini harapanku hanya satu, semoga kondisi istriku bisa kembali seperti sedia kala dan bisa mendampingiku dan anak-anak hingga mereka dewasa kelak.
Aku hanya tersenyum seraya menggeleng,”ijinkan saya tetap bersama Ninda, Bu”,”jawabku.
Bukan sekali dua kali ibu mertua menyuruhku menikah lagi. Sudah 2 tahun istriku terbaring lemah di ranjang. Tubuhnya lumpuh separoh setelah menjalani operasi akibat kelainan otak yang dideritanya.(Baca juga : Lara Hati istri yang dipoligami)
Memang tak mudah menjalankan semuanya sendiri, apalagi kedua anakku masih kecil yang seharusnya sangat membutuhkan peran ibunya. Setiap hari, aku harus bangun lebih pagi agar semua pekerjaan selesai tepat waktu, dari mulai memasak, mencuci, merawat istri dan anak-anak. Beruntung sekali ibu dan iparku selalu sigap membantu pekerjaanku. Kadang kalau aku pulang telat, merekalah yang menghandle semua pekerjaanku.
***
Aku dekat dengan Ninda sejak SMA. Dia perempuan yang sangat cantik dan cerdas, tak heran ketika lulus kuliah dia diterima bekerja di sebuah bank ternama. Kami dipertemukan kembali pada saat yang tidak tepat, yakni ketika Ninda sudah bertunangan dengan lelaki mapan pilihan orang tuanya.
Aku sempat kecewa dengan kenyataan itu, namun secercah harapan muncul saat Ninda menceritakan bahwa dia begitu mengharapkan kehadiranku. Ninda terpaksa menyetujui pertunangannya, padahal dia tidak pernah mencintai lelaki pilihan orang tuanya. (Baca juga : Kesedihan menantu yang dicemburui mertua)
Diam-diam hubungan kamipun berlanjut, hingga Ninda dengan tegasnya memutuskan tali pertunangannya. Kenyataan tersebut membuat kedua orang tua Ninda kecewa dan mereka begitu membenciku.
“Demi polisi rendahan begini, kamu rela meninggalkan Fatih yang pengusaha sukses?”kata Ibunya dengan tatapan sinis ketika pertama kali Ninda mengenalkanku pada orang tuanya.
Ninda berusaha membelaku, namun tetap saja tak merubah pandangan orang tuanya terhadapku.
Berbulan-bulan lamanya menjalin hubungan tanpa restu orang tuanya membuatku sempat putus asa dan berniat melepaskannya. Namun urung kulakukan saat aku mendengar Ninda mengalami kejadian yang membuatnya harus diopname di Rumah Sakit.
“Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku ya!”pintanya penuh harap.
Aku terhenyak mendengar harapnya,”aku janji akan bersabar menunggu restu orang tuamu,”jawabku membuat senyumnya kembali mengembang.
Kegigihanku dalam mengejar cinta Ninda membuat pertahanan orang tuanya mulai mengendur. Mereka tidak lagi melarang Ninda jalan denganku, bahkan menurutku mereka mulai merestui hubungan kami.
Ternyata anggapanku tak sepenuhnya benar, kedua orang tuanya hanya terpaksa merestui kami. Terbukti ketika lamaran berlangsung, keluarga Ninda bersikap acuh tak acuh dan terlihat meremehkan keluargaku. Aku sadar, memang keluargaku hanyalah keluarga petani yang sangat sederhana, berbeda dengan keluarga Ninda yang kaya dan modern.
Bahkan yang sangat memberatkan lagi ketika orang tua Ninda mengajukan persyaratan bahwa aku harus memenuhi kebutuhan pesta pernikahan kami. Bukan pesta sederhana sebagaimana yang di gelar di desa-desaku, tapi pesta mewah khas keluarga Ninda.
Awalnya aku berpikir, mungkin ini salah satu cara untuk memutuskan hubungan kami. Namun akhirnya akupun mencoba berpikir positif, toh uang tersebut untuk membiayai pesta pernikahan kami. Tapi masalahnya, darimana aku mendapatkan uang tersebut, sedangkan gajiku sebagai polisi selama setahun saja masih kurang untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Akhirnya, ibu berinisiatif menjual sawahnya demi membantu memenuhi persyaratan tersebut. Meskipun segan, tapi aku tak mampu menolak kehendak ibu yang ingin melihatku bahagia.
***
Pesta mewah digelar dan kamipun resmi menjadi pasangan suami istri. Tadinya aku berpikir bisa memiliki Ninda sepenuhnya, tapi ternyata orang tuanya tak semudah itu melepaskan putrinya. Rencanaku memboyong Ninda kerumah orang tuaku ditolak mentah-mentah sama mereka.
“Ninda boleh kamu bawa, asalkan kamu sudah punya rumah sendiri bukan dirumah orang tuamu,”kata ibunya ketus.
“Bu, jangan begitu, biarlah sementara waktu aku ikut suamiku, üjar Ninda memohon.
“Enggak, kamu itu anakku jadi jangan melawan perintahku,”bentak ibunya.
Hatiku teramat perih menerima perlakuan mereka. Harga diriku sungguh tercabik-cabik, manakala untuk memboyong istriku ke rumah saja aku tak diijinkan. Kesabaranku benar-benar diuji, hidup satu atap dengan mertua yang sebenarnya sangat membenciku.
“Mas, sabar ya! Kata-kata ibu ada benarnya juga, mendingan kita disini sampai kita mampu beli rumah baru,”ujar Ninda mencoba menenangkanku, sedangkan aku hanya diam tanpa mengiyakan pendapatnya.
Sebulan berlalu, Ninda mendapatkan kehamilan. Bukannya bahagia, ibu mertua justru menyalahkan kami karena ceroboh hingga kebobolan hamil.
“Rumah saja belum mampu beli, sudah hamil lagi,”ujarnya dengan nada sinis dihadapanku.
Aku mencoba bersabar mendengar kata-kata kasar dan cemooh ibu mertua. Demi Ninda dan calon anakku, aku rela direndahkan bagai binatang yang tak berperasaan,”Ya Allah, berikan kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi ujian ini,”doaku.
Sembilan bulan sudah Ninda melalui kehamilannya. Sebagai suami, aku tak mau melewatkan proses mendebarkan mendampingi persalinan istriku. Air mataku tak mampu kubendung manakala jerit tangis buah hatiku memenuhi seluruh ruangan.
Senyum kebahagiaan terus mengembang dari bibirku. Menurutku Allah begitu baik karena sudah memberikan menyejuk jiwa untukku. Aku sangat berharap kehadiran bayi mungil ini akan mampu melekatkan hubunganku dengan orang tua Ninda.
Langkahku kian mantap untuk segera memiliki rumah sendiri. Membeli rumah sederhana menjadi targetku tahun ini. Aku berusaha mencapainya meskipun harus bekerja ekstra keras.
Ketika melihat sebuah rumah sederhana, akupun mencoba mengutarakannya kepada Ninda. Dia tidak masalah dan setuju saja asalkan aku bahagia, namun ibunya langsung menolak keras.
“Bagaimana mungkin kau bawa putri dan cucuku tinggal di rumah jelek begitu,”ejeknya.
Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan. Apa yang kurencanakan kembali kandas di tengah jalan. Ya Allah, kapan aku mampu memenuhi keinginan ibu kalau yang dia inginkan selalu yang berbau kemewahan.
Meskipun malu, akhirnya aku nekat mengutarakan keinginanku pada orang tuaku untuk bisa membeli rumah baru sesuai keinginan mertua.
Demi meringankan bebanku, lagi-lagi ibu rela menjual perhiasan dan barang-barang berharganya,”ini Nak, semoga saja berkah ya!”ujarnya.
Aku menangis sejadi-jadinya dihadapan ibuku,”ampuni putramu yang hingga kini selalu menyusahkanmu.”
Ibu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya,”tidak Nak, sudah menjadi kewajiban ibu untuk membahagiakanmu sampai kapanpun,”ujarnya membuat tubuhku semakin terguncang.
Tekatku sudah bulat untuk membeli sebuah rumah yang sesuai keinginan mertua. Setelah semuanya beres, kamipun berencana pindahan ke rumah baru. Meskipun bahagia melihat kami memiliki rumah baru, namun ibu tak serta merta meloloskan keinginan kami. Menurutnya, rumah kami belum sempurna karena belum dilengkapi dengan perabotan. Aku sudah mencoba menjelaskan akan mencicil membelinya setiap bulan, namun tetap saja tidak diterima.
Ya sudahlah, akhirnya kamipun menuruti saja apa maunya. Tiga bulan kemudian, setelah semuanya sudah lengkap barulah ibu mengijinkan kami pindah rumah.
Namun ketika mobil kami siap berangkat, tiba-tiba Ninda mengalami kejadian yang mengejutkan hingga dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Setelah serangkaian pemeriksaan dilakukan, dokter menyatakan kalau Ninda menderita kelainan di otaknya dan harus segera dioperasi.
Aku benar-benar sock menerima kenyataan ini. Disaat rencana indah siap dijelang, istriku justru mengalami hal sangat menyedihkan.
“Ya Allah, ujian apalagi yang harus kujalankan,”ujarku.
Operasi berjalan dengan lancar, namun aku harus menerima kenyataan yang lebih menyakitkan lagi. Tubuh istriku lumpuh separoh sehingga dia tidak mampu melakukan semuanya sendiri.
Mengetahui kondisinya, Ninda nampak sangat terluka dan putus asa. Selain lumpuh, Ninda juga kehilangan kemampuan berbicara. Aku terus mencoba menenangkan dan menguatkannya meskipun hatiku sendiri teramat perih mendapati cobaan yang berat ini.
Rencana pindah rumah hanya tinggal rencana, karena musibah yang tengah menerpa rumah tangga kami. Keangkuhan ibu sedikit memudar manakala melihat kesabaranku merawat Ninda dan juga cucunya.
Ditengah musibah yang mendera, Allah menghadiahkan sesuatu yang indah. Dalam perut Ninda hadir buah hati kami yang kedua. Ternyata sudah tiga bulan ini dia hadir dalam rahim istriku, kesibukan kami dalam mempersiapkan rumah baru membuat kami tak menyadari kehadirannya.
Ninda sempat tidak mau menerima kehamilannya. Dia takut bayinya ikut cacat, karena setiap hari dia wajib minum obat-obatan. Aku sempat bingung dan mencemaskan kondisi Ninda yang lumpuh, tapi nyatanya Allah berikan kekuatan pada si janin untuk terus bertahan dalam rahim istriku.
Sembilan bulan berlalu dengan cepatnya, kecemasanku kembali bertambah manakala mendampingi Ninda menjalani persalinan di rumah sakit. Subhanallah, Allah Maha Baik dan pemurah karena sudah melancarkan proses persalinan Ninda.
Kelahiran putraku membuat tugasku kian berat. Aku harus merawat istriku yang lumpuh, si sulung dan bayi mungil yang sejatinya sangat membutuhkan pelukan hangat ibunya.
Merasa kesulitan membagi waktu, akhirnya aku mengutarakan niatku untuk memboyong Ninda ke rumah orang tuaku. Untuk pertama kalinya, orang tua Ninda bersikap pasrah, mereka menyerahkan semua keputusan ditanganku. Meskipun terlambat, aku sangat bahagia bisa leluasa mengatur keluargaku.
Dirumah orang tuaku, semua keluarga ikut meringankan bebanku dalam merawat Ninda dan anak-anakku. Aku bersyukur, kerukunan dan kasih sayang keluargaku membuat kondisi Ninda mulai membaik. Semangat hidupnya kembali bangkit, dia tidak manja lagi dan mau berusaha melakukan semuanya sendiri, seperti mengenakan pakaian, dandan, makan, minum, dan pekerjaan lainnya.
Pagi itu, keluarga Ninda datang menjenguk putrinya. Tak ada tampang angkuh sebagaimana selama ini mereka perlihatkan padaku dan keluargaku. Keduanya tampak sedih menatap kondisi yang menimpa putri dan cucu-cucunya.
“Nak, maafkan kesalahan kami selama ini ya, kami terlalu egois dan suka memaksakan kehendak,”ujar ibunya terbata-bata.
Aku tersenyum,”sudahlah, Bu, saya sudah melupakan semuanya,”jawabku.
“Nak, sudah lama kamu menderita, kini biarlah kami menjemput Ninda dan anak-anakmu,”kata ayah dengan suara berat.
Ibu mertua membenarkan ucapan suaminya. Mereka berencana merawat Ninda dan anak-anaku agar aku bisa melanjutkan hidup dengan menikahi wanita lain yang sehat.
“Astagfirullah, Yah, Bu, sedikitpun tidak terbersit niat dalam hati saya untuk meninggalkan Ninda dan anak-anak,”jawabku.
Aku tahu, mungkin mereka meragukan kesabaranku dalam merawat Ninda yang lumpuh dan juga kedua anakku. Namun sedikitpun tak ada niat untuk mengembalikan Ninda kepada mereka, selaku orang tuanya. Justru kondisi ini semakin menguatkan tekatku untuk terus mendampinginya.
Mendengar jawabanku, mertuaku tak mampu menahan air matanya. Kulihat istriku semakin terisak oleh tangisnya.
Setelah kepergian orang tuanya, istriku kembali membahas ucapan orang tuanya, “Mungkin benar yang dikatakan ayah dan ibu, Mas berhak melanjutkan hidup,”ujarnya pelan.
Lagi-lagi aku tersenyum, “aku berhak melanjutkan hidup bersama kamu dan juga anak-anakku,”jawabku mencoba menutup pembahasan tersebut.
Hampir sebulan sekali, orang tua Ninda datang menjenguk. Dan mereka tak hentinya menawarkan niatnya untuk membawa Ninda dan anak-anakku demi aku bisa melanjutkan hidup.
“Bu, in sya Allah impianku takkan berubah untuk bisa terus bersama istri dan anak-anakku, jadi tolong jangan hancurkan impianku,”ujarku memohon.
Seperti biasa, mereka hanya bisa menatap haru dan berterima kasih banyak atas keputusanku. Tak lupa ribuan doa disematkan pada keluarga kami.
Sejak saat itu, hubungan kami melebihi mertua dan menantu. Aku merasa mereka begitu menyayangi dan memperhatikan keluarga kecilku. Aku bersyukur, akhirnya semua berakhir indah. Kini harapanku hanya satu, semoga kondisi istriku bisa kembali seperti sedia kala dan bisa mendampingiku dan anak-anak hingga mereka dewasa kelak.
Loading...