Udara pagi yang dingin tak menyurutkan langkahku menuju warung Yuk Inah untuk belanja. Tidak seperti biasanya, suasana pagi itu nampak heboh karena Yuk Inah terlihat berapi-api ketika menceritakan kejadian aneh yang dialaminya pada pelanggannya. Walhasil, ibu-ibu yang biasa langsung pulang setelah belanja, justru berkumpul mengerubungi warung Yuk Inah.
Maaf ibu ... |
“Tidak lapor polisi saja, Yuk?”saran bu Nana
“Kenapa ke Polisi, wong saya sudah tanya ke wong pinter, katanya memang kerjaan tuyul,”jawab Yuk Inah dengan gayanya yang khas.
“Apa sudah diselidiki Yuk, mungkin saja Iyuk lupa naruh atau lupa sudah dipakai untuk apa?”aku coba meredam amarahnya.
“Oh, itu nggak mungkin. Saya ingat jelas, uang itu buat jaga-jaga bayar bank dan jumlahnya sudah pas,”ujarnya membela diri.
“Bisa saja anggota keluarga Yuk sendiri yang ngambil,”aku masih terus menebak.
“Pintu rumah terkunci rapat, saya jualan dan bapak pergi kebengkelnya. Jadi, tidak mungkin ada yang masuk rumah,”jelasnya.
“Aku benar-benar ikut menyesal, kenapa Yuk Nah benar-benar yakin kalau yang mengambil uangnya adalah tuyul. Kenapa harus percaya sama perkataan dukun? Kenapa tidak mencari cara lain saja?” Hem pikiranku terus berkecamuk.
Berita tentang keberadaan tuyul langsung menyebar seantero kampung. Yang lebih mengerikan lagi, Yu Nah dengan gampangnya menyebutkan kalau pemilik tuyulnya adalah tetangga dekat rumahnya.
“Beneran orang itu, Yuk?”tanya Bu Ida
“Ya mau siapa lagi? Mbah dukun bilang kalau pemilik tuyulnya tidak jauh dari rumah,”terang Yuk Nah dengan lantang.
“Oh…pantesan dia sering banget borong-borong ya!”tambah Bu Ida.
“Ya iya, orang duit tinggal nyaruk punya tetangga aja,”ujar Yuk Nah geram.
“Jangan asal menuduh, Yuk. Yang ada nanti malah menjadi fitnah. Toh belum terbukti kebenarannya,”aku mencoba meredam amarah Yuk Nah.
“Kamu itu nggak usah membela orang yang bersalah, memangnya kamu dibayar berapa sich?”bentak Yuk Nah sewot.
“Bukan begitu yuk, aku hanya ingin mengingatkan kalau fitnah lebih kejam dari membunuh loh,”ujarku perlahan.
Yuk Nah tak bergeming, dia tetap saja asyik dengan gosip terbarunya tentang tetangga yang dituduh menjadi pemilik tuyul, Bu Widya. Orangnya terlihat baik dan ramah. Dia baru sebulan pindah di desa kami karena rumah lamanya dibeli oleh pengembang perumahan dengan harga yang cukup mahal, sehingga wajar kalau bu Widya bisa belanja-belanja peralatan rumah tangga terbaru dan gadget untuk anak-anaknya.
***
“Kemarin aku sindir dia habis-habisan, aku sudah geregetan dengan ulahnya. Kok bisa-bisanya ngrusuhin tetangganya sendiri,”Yuk Nah nampak geram.
“Terus gimana reaksinya Yuk?”Bu Hilda ikut penasaran.
“Dia tidak berani membalas sindiranku, berarti kan memang iya. Dia merasa malu,”ucap Yuk Nah berapi-api.
“Masa sich Yuk? Wah kalau aku mah sudah kusamperin tuh orang, biar tau rasa!”Bu Ida yang baru datang langsung ikut mengompori.
“Iya, rencananya akan kutemui saja orangnya secara langsung, biar sekalian malu,”jawab yuk Nah semakin membara.
Hampir setiap hari, Yu Nah sibuk dengan prasangka dan juga sindirannya. Namun sayangnya hal itu tidak bisa menghentikan aksi si tuyul untuk tidak mencuri uangnya. Bahkan semakin hari aksi si tuyul semakin nekat. Bukan hanya uang saja yang dicuri, tapi juga menggondol perhiasan beserta suratnya.
Seperti biasanya saat pagi hari aku dan ibu-ibu yang lainnya pergi belanja ke warungnya Yuk Inah. Bukan hanya mendapatkan belanjaan yang lengkap, tapi aku juga selalu mendapatkan info dan gosip-gosip terbaru yang up to date.
“Benar-benar canggih itu tuyul, masa ambil perhiasan sama suratnya?”akupun terheran-heran saat mendengar cerita Yuk Nah.
Semua orang ikut terheran-heran mendengar cerita yuk Nah. Sebagian merasa aneh, sebagian lagi justru mendorong yuk Nah untuk menyelidiki lebih dalam ke orang pinter.
Perasaan yuk Nah semakin tak menentu. Kelakuan si tuyul tersebut tak pelak membuat Yuk Nah merasa berang, “Awas ya! aku bakal menangkap si pemilik tuyul itu.”
“Memangnya Yuk Nah bisa menangkapnya?”tanyaku kaget.
“Tenang saja, mantuku sudah nemuin dukun yang ampuh di kota Banyuwangi, siap-siap saja aku permalukan tuh orang,”ancam yuk Nah.
Aku dan hj. Masnuna yang kebetulan pulang bersamaan dari warung Yuk Nah hanya bisa berpandangan geli. “Kenapa tidak melapor ke kantor polisi saja biar diselidiki kejadiannya dan kenapa harus percaya sama perkataan dukun,”kataku setengah berbisik.
“Yo weslah biarkan saja, nggak usah ikut-ikutan,”Hj. Masnuna mengingatkanku agar tidak melibatkan diri.
Keesokan harinya, aku dan para ibu-ibu saling berlomba mendatangi warung Yuk Nah. Seperti biasanya, Yuk Nah selalu meng-update kabar terbaru seputar usahanya menangkap si tuyul.
“Ternyata tuyulnya sangat sakti. Mbah dukun bilang, pemiliknya bukan orang sembarangan,”yuk Nah membuka cerita
“Lah terus gimana Yuk Nah? Nggak bisa ditangkap dong,”Bu Ida nampak kecewa.
“Oh tenang saja, si mbah dukun sudah memberikan penangkal yang ampuh agar tuyul tidak bisa masuk ke rumah,”ujar yuk Nah bersemangat menunjukkan sesuatu pada semua pelanggannya.
“Oalah itu penangkal dari mbah dukun ya, Yuk?”tanya Bu Ida sembari membuntuti langkah Yuk Nah ke setiap pojok rumahnya.
Batinku tiba-tiba ingin menjerit saat melihat Yuk Nah mulai terjebak menjalani ritual syirik dari si Dukun itu. Cok bakal yang setahuku menjadi pelengkap sesembahan kepada makhluk ghaib itu yang dianggap bisa menjadi penangkal ampuh terhadap gangguan tuyul. Astaghfirullahal adzim. Semoga Allah segera menunjukkan kebenarannya, agar Yuk Nah tidak tersesat terlampau jauh, doaku dalam hati.
Seminggu sudah Yuk Nah menjalani ritual dari mbak dukun, hasilnya benar-benar menggembirakan. Rumah Yuk Nah aman dan tidak ada barang satupun yang hilang. Tidak adalagi cerita sedih, yang ada hanya senyum puas dan bahagia karena usahanya menangkal tuyul berhasil.
“Benar-benar ampuh ramuan dari Mbah Dukun itu, biar tahu rasa!”ujar Yuk Nah dengan semangat.
“Syukur alhamdulillah ya, Yuk. Percaya ndak percaya, tapi kenyataannya memang begitu ya,”Hj. Masnuna merasa takjub dengan cerita Yuk Nah.
“Iya, Bu haji. Sebagai orang islam, ya aslinya aku tidak percaya sama dukun. Lah tapi kalau yang dilawan makhluk halus bagaimana?”Yuk Nah mencoba membela diri.
“Halah yuk, gak ada salahnya ke dukun. Wong namanya juga ikhtiar,”Bu Ida ikut membenarkan usaha Yuk Nah.
Lagi-lagi aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apapun. Menurutku percuma saja aku berusaha meluruskan, toh kenyataannya Yuk Nah lebih percaya pada perkataan sang dukun.
***
Setelah seminggu lebih Yuk Nah larut dengan kebahagiaannya karena terbebas dari tuyul. Tiba-tiba saja aku mendengar kabar yang sangat memilukan. Sepulang yuk Nah rekreasi dari luar kota, tiba-tiba dia mendapati anak perempuannya menangis tersedu-sedu.
“Kenapa kamu Joana, ada apa?”teriak Yuk Nah kebingungan.
“Maafkan suamiku, Bu. Dia memang kurang ajar dan tidak tahu diri,”Joana terus terisak tanpa bisa menjelaskan semuanya kepada ibunya.
Yuk Nah terus mencecar Joana hingga akhirnya putrinya menceritakan kejadian yang dia alami barusan. Karena dalam kondisi hamil, Joana sengaja tidak ikut rekreasi bersama keluarga besarnya. Pada saat dia pergi ke rumah ibunya untuk mengambil makanan, ternyata dia mendapati ada seseorang tengah berada di kamar ibunya. Awalnya dia bingung, karena pintu rumah terkunci rapat, tapi kok ada suara gaduh didalam kamar ibunya. Setelah dilihat, ternyata suaminya tengah menguras habis semua perhiasan Yuk Nah.
Awalnya Yuk Nah bingung dengan cerita putrinya, namun kemudian dia paham bahwa ternyata menantu kesayangannya sengaja membuat kunci duplikat rumah mertuanya agar bisa leluasa keluar masuk kedalam rumah mertuanya. Seketika tubuh Yuk Nah limbung, dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Saat Yuk Nah sadar, dia mendapati orang-orang berkumpul disekelilingnya. Tanpa sadar mulutnya terus merancau, menangis, mengomel, dan terus mengutuk perbuatan menantunya.
“Oalah yuk, jadi bukan tuyul toh pencurinya ?” Bu Ida terlihat emosi.
“Bukan, tapi mantuku sendiri,”tangis Yuk Nah kembali pecah.
“Apa? Ja..jadi yang mencuri barang-barang Yuk Nah selama ini adalah suaminya Mbak Joana?”kata Bu Farah sembari melotot tak percaya.
“Sudah..sudah, yang sabar ya Yuk!”sahut Hj. Masnuna sembari mengelus-elus punggung Yuk Nah.
Aku hanya melongo saat melihat Yuk Nah menangis sesengukan sembari menceritakan dengan detil tragedi memilukan yang menimpa putrinya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Menantu kesayangannya sudah tergila-gila dengan penyanyi café, karena itu dia nekat mencuri uang dan perhiasan menantunya hanya untuk bersenang-senang dengan biduan tersebut. Padahal disaat yang sama, sang istri tengah mengandung tujuh bulan. Masih kuingat dengan jelas, bagaimana Yuk Nah dengan sombongnya menuduh dan menyumpahi tetangganya sendiri gara-gara masalah kehilangan tersebut.
Hampir seminggu Yuk Nah merasa down. Dukungan dan support para tetangga terus berdatangan hingga akhirnya yuk Nah sadar dan mampu menguasai emosinya. Bu Widya, orang yang selama ini menjadi bulan-bulanan dan fitnah Yuk Nah justru menjadi orang yang paling peduli. Setelah kondisi Yuk Nah membaik, Bu Widya menceritakan pada yuk Nah kalau sebenarnya dia tahu kalau pelakunya adalah menantunya. Tapi dia merasa serba salah karena posisinya sangat sulit, dimana dia dicurigai sebagai pemilik tuyul.
“Duh.. saya minta maaf yang sebesar-besarnya ya, Bu atas kekhilafan saya selama ini,”ucap Yuk Nah diiringi isak tangis dari keduanya.
Yuk Nah dan keluarganya segera menuju ke pojok rumahnya untuk mengambil dan membuang jauh-jauh cok bakal yang telah tertanam rapi didalam tanah.
Wong pinter : Orang pintar
Nyaruk : mengambil
Cok Bakal : sesaji pelengkap ritual
yo weslah : ya Sudahlah
“Kenapa ke Polisi, wong saya sudah tanya ke wong pinter, katanya memang kerjaan tuyul,”jawab Yuk Inah dengan gayanya yang khas.
“Apa sudah diselidiki Yuk, mungkin saja Iyuk lupa naruh atau lupa sudah dipakai untuk apa?”aku coba meredam amarahnya.
“Oh, itu nggak mungkin. Saya ingat jelas, uang itu buat jaga-jaga bayar bank dan jumlahnya sudah pas,”ujarnya membela diri.
“Bisa saja anggota keluarga Yuk sendiri yang ngambil,”aku masih terus menebak.
“Pintu rumah terkunci rapat, saya jualan dan bapak pergi kebengkelnya. Jadi, tidak mungkin ada yang masuk rumah,”jelasnya.
“Aku benar-benar ikut menyesal, kenapa Yuk Nah benar-benar yakin kalau yang mengambil uangnya adalah tuyul. Kenapa harus percaya sama perkataan dukun? Kenapa tidak mencari cara lain saja?” Hem pikiranku terus berkecamuk.
Berita tentang keberadaan tuyul langsung menyebar seantero kampung. Yang lebih mengerikan lagi, Yu Nah dengan gampangnya menyebutkan kalau pemilik tuyulnya adalah tetangga dekat rumahnya.
“Beneran orang itu, Yuk?”tanya Bu Ida
“Ya mau siapa lagi? Mbah dukun bilang kalau pemilik tuyulnya tidak jauh dari rumah,”terang Yuk Nah dengan lantang.
“Oh…pantesan dia sering banget borong-borong ya!”tambah Bu Ida.
“Ya iya, orang duit tinggal nyaruk punya tetangga aja,”ujar Yuk Nah geram.
“Jangan asal menuduh, Yuk. Yang ada nanti malah menjadi fitnah. Toh belum terbukti kebenarannya,”aku mencoba meredam amarah Yuk Nah.
“Kamu itu nggak usah membela orang yang bersalah, memangnya kamu dibayar berapa sich?”bentak Yuk Nah sewot.
“Bukan begitu yuk, aku hanya ingin mengingatkan kalau fitnah lebih kejam dari membunuh loh,”ujarku perlahan.
Yuk Nah tak bergeming, dia tetap saja asyik dengan gosip terbarunya tentang tetangga yang dituduh menjadi pemilik tuyul, Bu Widya. Orangnya terlihat baik dan ramah. Dia baru sebulan pindah di desa kami karena rumah lamanya dibeli oleh pengembang perumahan dengan harga yang cukup mahal, sehingga wajar kalau bu Widya bisa belanja-belanja peralatan rumah tangga terbaru dan gadget untuk anak-anaknya.
***
“Kemarin aku sindir dia habis-habisan, aku sudah geregetan dengan ulahnya. Kok bisa-bisanya ngrusuhin tetangganya sendiri,”Yuk Nah nampak geram.
“Terus gimana reaksinya Yuk?”Bu Hilda ikut penasaran.
“Dia tidak berani membalas sindiranku, berarti kan memang iya. Dia merasa malu,”ucap Yuk Nah berapi-api.
“Masa sich Yuk? Wah kalau aku mah sudah kusamperin tuh orang, biar tau rasa!”Bu Ida yang baru datang langsung ikut mengompori.
“Iya, rencananya akan kutemui saja orangnya secara langsung, biar sekalian malu,”jawab yuk Nah semakin membara.
Hampir setiap hari, Yu Nah sibuk dengan prasangka dan juga sindirannya. Namun sayangnya hal itu tidak bisa menghentikan aksi si tuyul untuk tidak mencuri uangnya. Bahkan semakin hari aksi si tuyul semakin nekat. Bukan hanya uang saja yang dicuri, tapi juga menggondol perhiasan beserta suratnya.
Seperti biasanya saat pagi hari aku dan ibu-ibu yang lainnya pergi belanja ke warungnya Yuk Inah. Bukan hanya mendapatkan belanjaan yang lengkap, tapi aku juga selalu mendapatkan info dan gosip-gosip terbaru yang up to date.
“Benar-benar canggih itu tuyul, masa ambil perhiasan sama suratnya?”akupun terheran-heran saat mendengar cerita Yuk Nah.
Semua orang ikut terheran-heran mendengar cerita yuk Nah. Sebagian merasa aneh, sebagian lagi justru mendorong yuk Nah untuk menyelidiki lebih dalam ke orang pinter.
Perasaan yuk Nah semakin tak menentu. Kelakuan si tuyul tersebut tak pelak membuat Yuk Nah merasa berang, “Awas ya! aku bakal menangkap si pemilik tuyul itu.”
“Memangnya Yuk Nah bisa menangkapnya?”tanyaku kaget.
“Tenang saja, mantuku sudah nemuin dukun yang ampuh di kota Banyuwangi, siap-siap saja aku permalukan tuh orang,”ancam yuk Nah.
Aku dan hj. Masnuna yang kebetulan pulang bersamaan dari warung Yuk Nah hanya bisa berpandangan geli. “Kenapa tidak melapor ke kantor polisi saja biar diselidiki kejadiannya dan kenapa harus percaya sama perkataan dukun,”kataku setengah berbisik.
“Yo weslah biarkan saja, nggak usah ikut-ikutan,”Hj. Masnuna mengingatkanku agar tidak melibatkan diri.
Keesokan harinya, aku dan para ibu-ibu saling berlomba mendatangi warung Yuk Nah. Seperti biasanya, Yuk Nah selalu meng-update kabar terbaru seputar usahanya menangkap si tuyul.
“Ternyata tuyulnya sangat sakti. Mbah dukun bilang, pemiliknya bukan orang sembarangan,”yuk Nah membuka cerita
“Lah terus gimana Yuk Nah? Nggak bisa ditangkap dong,”Bu Ida nampak kecewa.
“Oh tenang saja, si mbah dukun sudah memberikan penangkal yang ampuh agar tuyul tidak bisa masuk ke rumah,”ujar yuk Nah bersemangat menunjukkan sesuatu pada semua pelanggannya.
“Oalah itu penangkal dari mbah dukun ya, Yuk?”tanya Bu Ida sembari membuntuti langkah Yuk Nah ke setiap pojok rumahnya.
Batinku tiba-tiba ingin menjerit saat melihat Yuk Nah mulai terjebak menjalani ritual syirik dari si Dukun itu. Cok bakal yang setahuku menjadi pelengkap sesembahan kepada makhluk ghaib itu yang dianggap bisa menjadi penangkal ampuh terhadap gangguan tuyul. Astaghfirullahal adzim. Semoga Allah segera menunjukkan kebenarannya, agar Yuk Nah tidak tersesat terlampau jauh, doaku dalam hati.
Seminggu sudah Yuk Nah menjalani ritual dari mbak dukun, hasilnya benar-benar menggembirakan. Rumah Yuk Nah aman dan tidak ada barang satupun yang hilang. Tidak adalagi cerita sedih, yang ada hanya senyum puas dan bahagia karena usahanya menangkal tuyul berhasil.
“Benar-benar ampuh ramuan dari Mbah Dukun itu, biar tahu rasa!”ujar Yuk Nah dengan semangat.
“Syukur alhamdulillah ya, Yuk. Percaya ndak percaya, tapi kenyataannya memang begitu ya,”Hj. Masnuna merasa takjub dengan cerita Yuk Nah.
“Iya, Bu haji. Sebagai orang islam, ya aslinya aku tidak percaya sama dukun. Lah tapi kalau yang dilawan makhluk halus bagaimana?”Yuk Nah mencoba membela diri.
“Halah yuk, gak ada salahnya ke dukun. Wong namanya juga ikhtiar,”Bu Ida ikut membenarkan usaha Yuk Nah.
Lagi-lagi aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apapun. Menurutku percuma saja aku berusaha meluruskan, toh kenyataannya Yuk Nah lebih percaya pada perkataan sang dukun.
***
Setelah seminggu lebih Yuk Nah larut dengan kebahagiaannya karena terbebas dari tuyul. Tiba-tiba saja aku mendengar kabar yang sangat memilukan. Sepulang yuk Nah rekreasi dari luar kota, tiba-tiba dia mendapati anak perempuannya menangis tersedu-sedu.
“Kenapa kamu Joana, ada apa?”teriak Yuk Nah kebingungan.
“Maafkan suamiku, Bu. Dia memang kurang ajar dan tidak tahu diri,”Joana terus terisak tanpa bisa menjelaskan semuanya kepada ibunya.
Yuk Nah terus mencecar Joana hingga akhirnya putrinya menceritakan kejadian yang dia alami barusan. Karena dalam kondisi hamil, Joana sengaja tidak ikut rekreasi bersama keluarga besarnya. Pada saat dia pergi ke rumah ibunya untuk mengambil makanan, ternyata dia mendapati ada seseorang tengah berada di kamar ibunya. Awalnya dia bingung, karena pintu rumah terkunci rapat, tapi kok ada suara gaduh didalam kamar ibunya. Setelah dilihat, ternyata suaminya tengah menguras habis semua perhiasan Yuk Nah.
Awalnya Yuk Nah bingung dengan cerita putrinya, namun kemudian dia paham bahwa ternyata menantu kesayangannya sengaja membuat kunci duplikat rumah mertuanya agar bisa leluasa keluar masuk kedalam rumah mertuanya. Seketika tubuh Yuk Nah limbung, dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Saat Yuk Nah sadar, dia mendapati orang-orang berkumpul disekelilingnya. Tanpa sadar mulutnya terus merancau, menangis, mengomel, dan terus mengutuk perbuatan menantunya.
“Oalah yuk, jadi bukan tuyul toh pencurinya ?” Bu Ida terlihat emosi.
“Bukan, tapi mantuku sendiri,”tangis Yuk Nah kembali pecah.
“Apa? Ja..jadi yang mencuri barang-barang Yuk Nah selama ini adalah suaminya Mbak Joana?”kata Bu Farah sembari melotot tak percaya.
“Sudah..sudah, yang sabar ya Yuk!”sahut Hj. Masnuna sembari mengelus-elus punggung Yuk Nah.
Aku hanya melongo saat melihat Yuk Nah menangis sesengukan sembari menceritakan dengan detil tragedi memilukan yang menimpa putrinya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Menantu kesayangannya sudah tergila-gila dengan penyanyi café, karena itu dia nekat mencuri uang dan perhiasan menantunya hanya untuk bersenang-senang dengan biduan tersebut. Padahal disaat yang sama, sang istri tengah mengandung tujuh bulan. Masih kuingat dengan jelas, bagaimana Yuk Nah dengan sombongnya menuduh dan menyumpahi tetangganya sendiri gara-gara masalah kehilangan tersebut.
Hampir seminggu Yuk Nah merasa down. Dukungan dan support para tetangga terus berdatangan hingga akhirnya yuk Nah sadar dan mampu menguasai emosinya. Bu Widya, orang yang selama ini menjadi bulan-bulanan dan fitnah Yuk Nah justru menjadi orang yang paling peduli. Setelah kondisi Yuk Nah membaik, Bu Widya menceritakan pada yuk Nah kalau sebenarnya dia tahu kalau pelakunya adalah menantunya. Tapi dia merasa serba salah karena posisinya sangat sulit, dimana dia dicurigai sebagai pemilik tuyul.
“Duh.. saya minta maaf yang sebesar-besarnya ya, Bu atas kekhilafan saya selama ini,”ucap Yuk Nah diiringi isak tangis dari keduanya.
Yuk Nah dan keluarganya segera menuju ke pojok rumahnya untuk mengambil dan membuang jauh-jauh cok bakal yang telah tertanam rapi didalam tanah.
Wong pinter : Orang pintar
Nyaruk : mengambil
Cok Bakal : sesaji pelengkap ritual
yo weslah : ya Sudahlah
Loading...